Selasa, 01 September 2009

Fungsi Kekerabatan Batak Toba


Fungsi kekerabatan maksudnya dalam tulisan ini adalah pelaksanaan hak dan kewajiban kekerabatan dalam kegiatannya berdasarkan pandangan Dalihan Na Tolu. Dalihan Na Tolu dalam hak dan kewajiban yang paling mendasar terletak pada Suhi ni Ampang Na Opat yaitu dimulai dan tumbuh dari Keluarga Dasar, Saripe.
Keluarga Dasar Saripe ini adalah tiang tonggak dan pusat kegiatan Suhut yaitu Opat Pat Ni Pansa dan terdiri dari :
a. Pamarai, yaitu saudara kandung laki – laki dari Suhut, seayah – seibu atau saudara seayah lain ibu
b. Tulang, yaitu saudara kandung laki – laki dari steri Suhut, seayah seibu atau seayah lain ibu
c. Simolohon atau Simandokhon yaitu laki – laki dari Suhut dan saudara laki – laki dari perempuan putrid Suhut
d. Pariban, yaitu anak perempuan dari Suhut dan saudara perempuan dari perempuan putrid Suhut.
Fungsi dari Suhi Ni Ampang Na Opat ini adalah pendukung utama dari kegiatan atau pekerjaan suhut. Apa saja pekerjaan suhu keempat personal kekerabatan inilah yang turut bertanggung jawab dengan suhut.
Tidak ada satu kegiatan suhut tanpa soko guru dari Suhi Ni Ampang Na Opat ini. Sebagai misal yaitu kegiatan suhut mengawinkan anaknya, baik laki – laki atau perempuan. Kita ambil contoh mengawinkan anak perempuan dan pelaksanaan horja atau pesta persmian perkawinan.
Pamarai atau abara artinya pundak. Dengan pengertian pundak, jelas bagi kita bahwa pamarai itulah pemundak pekerjaan. Dengan demikian pamarai mempunyai fungsi pada kekerabatan itu turut bertanggung jawab dengan suhut sesuai dengan hak dan kewajiban adalah seimbang, dos do nangkokna dohot tuatna.
Tulang berfungsi sesuai dengan hak dan kewajiban yang terdapat pada Dalihan Na Tolu. Dangka dupang amak rere, ama do tulang anak ibebere, maksudnya bahwa tulang itu dapat berfungsi sebagai ayah dan kemenakan ini dapat berfungsi sebagai anak sehingga dalam hak dan kewajiban adalah sama dengan suhut bertanggung jawab bersama suhut demi keberhasilan kegiatan horja tadi.
Simolohon atau simandokhon berfungsi sesuai dengan hak dan kewajiban dalam Dalihan Na Tolu. Hak dan kewajiban simolohon itu sama dengan hak dan kewajiban ayahnya. Pendapatnya mengikat, baik untuk mengyakan ataupun untuk menyatakan. Kadang – kadang apabila ayah – ibunya tidak mampu untuk melaksanakan kegiatan itu maka kepadanya diminta pendapat apakah mampu untuk melaksanakannya. Jika dikatakan ya, maka jadilah kegiatan itu dan jika dia membuat surat pernyataan, ucapannya itu mengikat sesuai dengan hak dan kewajiban ayahnya. Hak dan kewajibannya turut untuk menentukan kegiatan itu apakah dapat dilaksanakan.
Pariban berfungsi sesuai dengan hak dan kewajiban dalam Dalihan Na Tolu. Bagaimana kewajiban boru dalam Dalihan Na Tolu demikianlah pariban itu turut melaksanakan dan memundak beban demi terlaksananya kegiatan horja.
Fungsi pariban dalam kedudukan sebagai boru adalah soko guru kegiatan suhut.
Sudah dikatakan dimuka tulisan ini, bahwa pada borulah kekuatan suhut demi lancarnya kegiatan horja. Suhut dan Suhi Ni Ampangn Na Opat disebut Hasuhuton yang mempunnyai hak dan kewajiban yang sama dalam Dalihan Na Tolu. Justru inilah yang menjadi dasar bahwa Suhi Ni Ampang Na Opat bukan manumpahi dalam arti turut mendukung kegiatan suhut, tetapi menjadi pendukung utama atau soko guru kegiatan suhut tersebut.
Hasuhuton dalam hal ini Suhut dan Suhi Ni Ampang Na Opat adalah siparguru sama – sama memundak beban dari Suhut. Jika kewajibannya turut menanggung beban maka haknyapun sesuai dengan beban tersebut.
Soko guru dari Dalihan Na Tolu keluarga Dasar adalah Suhi Ni Ampang Na Opat, dan menjadi titik tumbuh pengemban hak dan kewajiban dalam kekerabatan. Hak dan kewajiban kekerabatan Batak Toba dengan dasar Suhi Ni Ampang Na Opat dapat berkembang secara vertikal dan horizontal dari sudut pandangan Dalihan Na Tolu.
Marilah diikuti terus fungsi kekerabatan vertikal keatas dari hasuhuton mardongan sabutuha atau mardongan tubu. Untuk lebih jelasnya, bahwa ayah dari suhut disebut ama dan ayah dari ama disebut ompung. Ayah dari ompung disebut ama mangulahi dan ayah dari ama mangulahi disebut ompung mangulahi. Inilah istilah kekerabatan vertikal keatas brdasarkan patrinial namardongan tubu.
Dalam fungsi kekerabatan sesuai dengan hak dan kewajiban pada kekerabatan Batak Toba vertikal keatas yaitu : saudara laki – laki saama satu ayah disebut paramai. Hak dan kewajibannya sudah diterangkan dimuka. Saudara laki – laki dari suhut tururan dari saudara laki – laki ayah atau saudara laki – laki ama disebut paidua ni suhut. Paidua ni suhut berfungsi menjadi orang kedua dari suhut. Hak dan kewajiban adalah mewakili hak dan kewajiban suhut keluar dan kedalam.dialah menjadi penanggung jawab kedua, dan haknyapun sesuai dengan fungsinya itu. Segala rencana dan program kerja hasuhuton harus diberitahukan kepadanya dan pada setiap pembicaraanpun, harus diikut sertakan. Hak dan tanggung jawabnya besar. Lancarnya sesuatu kegiatan horja atau apa sekalipun kejadian pada suhut adalah menjadi tanggung jawabnya.
Apabila sesuatu pekerjaan tidak lancar, akan menjadi gambaran bahwa kekerabatan meraka tidak kompak. Sebab itu paidua ni suhut tetap hati – hati dan cermat mengikuti dan melaksanakan kegiatan horja itu.
Saudara laki – laki dari suhut turunnan saudara laki – laki dari ompung disebut panombol berfungsi untuk membuka dan memulai pembicaraan adat dari hasuhuton.
Dalam hal penyediaan hewan untuk upacara adat, panombol inilah yang mula pertama menyembelih hewan tersebut. Dalam hal permulaan membuka pembicaraan acara adat panambol ini disebut Raja Parsinabung dan lawan bicaranya dipihak lain kedudukannya serupa dengan panamboli disebut Raja Parsaut. Tidak ada pembicaraan yang dapat dimulai apabila belum dibuka dan dimulai Panamboli Raja Parsinabung itu.
Saudara laki – laki dari suhut yaitu dongan tubu dari suhut turunan dari saudara laki – laki ama mangulahi disebut pamultak berfungsi untuk membantu lancarnya kegiatan horja agar terlaksana dengan baik.
Dinamai pamultak, karena dia sendirilah yang membuka, membagi – bagi hewan acara adat yang disembelih tadi sesuai dengan fungsi – fungsi anatomi pada kekerabatan yang disebut jambar. Pamultaklah yang bertanggung jawab sesuai dengan fungsinya untuk memberikan petunjuk agar acara adat itu dapat berjalan dengan lancar.
Pamultaklah memberi petunjuk kepada boru atau dongan sabutuha agar parjambaran dan hewan acara adat dipotong – potong sesuai dengan kedudukan pada kekerabatan. Lancar tidaknya sesuatu kegiatan horja berkat peran dari pamultak pada kekerabatan, termasuk mempersiapkan segala hidangan horja. Salah membagi jambar adalah menjadi tanggunng jawab pamultak, karena ialah yang membuka dan membagi – bagi bagian hewan acara adat. Kesalahan pamultak memberikan petunjuk kepada boru memotong – motong bagian hewan acara adat adalah menjadi tanggunng jawab pamultak.
Dongan sabutuha dari suhut turunan dari saudara laki – laki ompung mangulahi dinamai Panasap atau pamultak berfungsi dalam hak dan kewajiban terhadap suhut akan pelaksanaan apakah tambak dalam hal ini kuburan dari suhut dapat dilaksanakan. Panambakanlah yang bertanggung jawab terlaksananya kegiatan horja suhut yang berkaitan dengan penguburan. Dialah yang menghadapi dan menata atau mengatur acara penambakan dari suhut. Dan dialah untuk menghadapi segala sesuatu yang berkaitan dengan penambakan itu, termasuk hubungan dengan buis. Dongan sabutuha dari suhut, turunan laki – laki diatas ompung mangulahi dan selanjutnya vertikal keatas disebut Tanduk Harajaon. Tanduk Harajaon itu adalah saudara – saudara laki – laki atau dongan sabutuha atau dalam hal kekerabatan sekarang ini disebut saompu parsadaan, samarga, berfungsi turut membantu sesuai dengan hak dan kewajibannya dalam Dalihan Na Tolu untuk memberikan nasehat memberikan pembinaan kepada semua dongan tubu yang turut terlibat pada acara ahorj adat. Mereka mempunnyai hak dan kewajiban yang sama dan berhak, berkewajiban berbicara pada siding kerabat itu demi lancarnya kegiatan horja.
Pada umunya mereka berbicara secara aklamasi setelah mendengar pembicaraan – pembicaraan dari siding hasuhuton dan dengan yang berkaitan dengan itu. Aklamasi dan nasehat mereka mengandung hikmat didalam kekerabatan itu. Apabila telah dibicarakan fungsi dari kekerabatan vertikal ke atas dari Dongan Tubu maka untuk melengkapi fungsi kekerabatan itu berdasarkan Dalihan Na Tolu perlu diketahui hubungan kekerabatan secara horizontal kesamping dan vertikal ke atas fungsi kekerabatan dari pihak hula – hula.
Hula – hula langsung dari suhut adalah pihak ayah ibu dari isteri suhut dan anaknya laki – laki disebut tulang suhut dari yang diacara adatkan. Sudah ditulis dimuka tulisan ini bahwa tulang itu termasuk Suhi ni Ampang Na Opat berfungsi sebagai hasuhuton. Keluarga turunan dari Hula – hula ama yaitu saudara laki – laki dari ibu suhut disebut tulang berfungsi memberkati dan mengayomi borunya suhut sendiri dan berkewajiban memberi nasehat serta membina hasuhuton.
Fungsinya lebih nampak pada kaitan spiritual pasu – pasu dan berfungsi ritual. Maka dengan demikian dirasakan suhut mengandung hikmat dan didalam kebijaksanaannya cukup mengikat untuk mengambil keputusan jika ada saling sengketa diantara hasuhuton apabila tidak dapat diselesaikan oleh namarsabutuha maka keputusan dari tulang itu adalah mutlak karena dirasa mengandung sifat ritual spiritual. Jarangnlah seseorang atau keluarga menampik kebijaksanaan tulangnya, kalaupun ada demikian sudah dirasakan suatu kemunapikan dan dapat dipastikan merupakan pergeseran nilai dari Budaya Batak Toba. Tulang tidak banyak bicara dengan maksud lebih banyak mendengar pembicaraan suhut dan yang lain – lain. Bahwa dengan demikian kebijakan yang diambil benar – benar kebijaksanaan.
Keluarga turunan dari Hula – hula ompung yaitu saudara laki – laki dari ompung boru suhut disebut bona tulang berfungsi memberkati dan mengayomi suhut. Dalam kaitan hak dan kewajiban pada kekerabatan itu diwarnai hikmat spiritual. Mereka disembah agar hati mereka tulus dan senang pada acara horja. Agar hubungan baik itu semakin erat ada – ada saja usaha suhut mengawinkan anaknya laki – laki pada putri bona tulanng yang disebut mangulahi. Apabila sampai perkawinan seperti itu terjadi maka bona seperti itu disebut anak ni hambing.
Keluarga turunan hula – hula ama mangulahi disebut bona ni ari dari sudut berfungsi seperti bona tulang, dan semakin tajam. Kewajiban mereka lebih banyak bermakna restu atau pasu – pasu terhadap suhut.
Hak mereka semakin mutlak. Sebab itu ada – ada saja tuntutan mereka sesuai dengan haknya kepada suhut.
Agar tuntutan mutlak itu dapat diperlunak, maka oleh kedua belah pihak mengusahakan perkawinan mangulahi antara putra suhut dengan putrid bona ni ari. Hal ini dilakukan dengan alasan bahwa hubungan kekerabatan terkait sudah mengarah simbol. Bona ni ari artinya merupakan matahri terbit dari suhut. Agar matahari terbit itu tetap bersinar maka diadakan perkawinan mangulahi. Jika hal itu tidak dapat dilaksanakan maka kaitan kekerabatan sampai parjambaran hanya sebatas bona ni ari.
Nanti akan diulas dalam bab warisan.
Keluarga turunan dari hula – hula ompung mangulahi disebut juga bona ni ari sampai vertikal ke atas. Hanya bona ni arilah istilah terakhir pada hula – hula dan berfungsi untuk memberi berkat dan mengayomi.
Satu hal yang perlu dicatat bahwa fungsi kekerabatan tentang hak dan kewajiban kekerabatan bergantung pada pusat kegiatan siapa yang menjadi fokus adat atau yang diadatkan. Jika ama mangulahi yang diacara adatkan maka fungsi kekerabatan akan meningkat atau naik dari ama mangulahi ke atas.
Perlu dijelaskan pula bahwa hula – hula dari hula – hula suhut disebut tulang rorobot atau tulang mangihut, berfungsi turut merestui suhut.
Putri dari tulang rorobot ini tidak boleh dikawini putra dari suhut. Disebut boru ni tulang na so boi olion, yang artinya putri tulang yang tidak boleh dikawini karena kedudukan putri tulang rorobot adalah merupakan besan atau bao dari putra suhut yang dalam hubungan sehari – hari harus sengkan dan berpantang.satu hal dalam kekerabatan ini adalah bahwa orang semarga dari tulang, bona tulang dan bona ni ari disebut tulang dan dengan panggilan tulang berfungsi seperti yang kita sebutkan tadi. Oleh sebab itu dimana seseorang Batak Toba berada selalu memberitahukan demikian karena apabila tulang, bona tulang dan bona ni ari tidak ada dapat diwakili marga – marga tersebut membuat acara adat tersebut dapat berjalan dengan baik. Melengkapi fungsi kekerabatan ini dalam kaitan hubungan horizontal – vertikal yaitu peranan boru dari Dalihan Na Tolu.
Boru yaitu saudara perempuan dari suhut disebut boru suhut berfungsi kekuatan utama dari suhut. Lancar tidaknya sesuatu kegiatan berkat dari boru suhut tersebut. Masalah yang timbul pada suhut jalan penyelesaiannya banyak bergantung pada boru suhut. Boru suhutlah tempat penyampaian kata hati dari suhut. Kedudukannya serupa dengan pamarai. Segala keluh kesah dan kegembiraan adalah menjadi hak dan kewajiban antara suhut - boru suhut – pamarai dan tulang. Inilah sebenarnya tulang punggung fungsi kekerabatan Batak Toba. Boru turunan saudara perempuan dari ama disebut boru tubu berfungsi turut membantu menjadi kekuatan dari suhut. Bagaimana suhut terhadap tulangnya demikianlah boru tubu kepada suhut. Masalah keluarga masih menjadi masalah bagi boru tubu. Tanggung jawabnya masih besar.
Boru turunan saudara perempuan dari ompung disebut boru natua – tua berfungsi menjadi kekuatan juga bagi suhut. Bagaiman sikap suhut terhadap bona tulang demikian pulalah sikap dan fungsi boru natua – tua terhadap suhut. Boru turunan saudara perempuan dari ama mangulahi disebut boru sihabolonan berfungsi merupakan kekuatan utama pula bagi suhut. Boru sihabolonan ini akan selalu mengambil hati suhut dengan pengharapan hubungan kekerabatan mereka berlanjut dengan mengadakan perkawinan mangulahi antara putra boru sihabolonan dengan putri suhut.
Bagaimana sikap suhut terhadap bona ni arinya demikian pulalah sikap boru sihabolonan dengan suhut.
Boru turunan saudara perempuan dari ompung mangulahi disebut juga boru sihabolonan, tetapi didalam kaitan kekerabatan tidak disebut – sebut lagi karena boru sihabolonan istilah terakhir bagi boru.
Semua marga tadi dari boru Sihabolonan sampai dengan boru suhut tetap diberitahukan oleh semua dimanapun dia berada. Apabila ada kegiatan acara adat maka marga – marga boru itu menjadi kekuatan utama bagi suhut membuat acara adat itu berjalan lancar.
Boru dari boru disebut pisang raut dengan ketentuan bahwa putra dari pisang raut tidak boleh mengawini putri suhut sebagaimana putra suhut tidak boleh mengawini putri tulang rorbot. Pisang raut terhadap suhut dapat pula disebut tulang mangihut. Ada lagi istilah dan funngsi kekerabatan anatara boru ini yaitu boru diappuan, boru torop dan boru nagojong. Boru diampuan adalah marga boru yang tinggal dikampung suhut dan berfungsi turut menjadi kekuatan suhut. Boru torop adalah semua marga boru semarga dengan suhut yang berada pada acara adat tersebut dan juga turut membantu mengkemasi kegiatan pesta acara adat.
Boru nagojong adalah boru yang sudah berperan besar di dalam kegiatan hula – hulanya sehingga ia diberi hak untuk mendirikan huta dikampung hula – hula atau dikampung suhut. Jasa boru ini sudah cukup besar didalam acara adat hula – hulanya sehingga antara hak dan kewajiban boru nagojong sudah hampir sama dengan suhut. Fungsinya sudah hampir sama, hanya kelihatan pada sikap sopan santun dan moral kekerabatan berdasarkan Dalihan Na Tolu.
Pada umumnya boru nagojong ini sudah menjadi anak ni hambing dari hula – hulanya karena sudah terjadi perkawinan berulang – ulang antara putra boru nagojong dengan putri dongan tubu dari suhut. Merekalah yang dikatakan marga suhut boru, artinya bahwa hak mereka sudah hampir sama dengan suhut.
Ada pula fungsi kekerabatan berdasarkan sistem masyarakat. Jika fungsi kekerabatan tadi dikaitkan dengan garis turunan maka fungsi kekerabatan berdasarkan sistem kemasyarakatan Batak Toba itu adalah dalam kaitan hubungan dengan huta yaitu raja – raja adat, raja – raja horja, raja – raja bius. Dalam hal ini dapat dilihat pada tonggo raja dimana huta sering disamakan dengan panambolan sejajar dengan raja parsinabung atau raja parsaut. Jonok partubu jumonokan parhundul artinya, kuat kekerabatan karena turunan lebih kuat kekerabatan karena sekampung atau sahuta.
Kembali kepada kekuatan fungsi kekerabatan tadi. Bahwa harus dilihat apa dan mana menjadi fokus kegiatan. Jika fokus itu atau kegiatan itu dimana suhutnya, ripe – jabu – huta – lumban – bius maka dapat ditentukan fungsi kekerabatan dari focus kegioatan ini. Disinilah fungsi adat – fungsi bius – fungsi partuho mangajana atau fungsi sohe dan lain – lain yang masi perlu diteliti bagaimana struktur dari sistem pemerintahan cara adat Batak Toba.
Pada bab – bab berikut hal ini, akan diulas untuk salng membantu dalam kaitan kebudayaan Batak terutama Batak Toba.
Jika dibandingkan fungsi kekerabatan Batak Toba itu dengan organisasi modern adalah untuk menggambarkan hak dan kewajiban kerabat pada setiap kegiatan.
Suhut adalah pusat atau pokus kegiatan atau horja, Suhi ni ampang na omput menjadi soko guru. Suhut dan Suhi ni Ampang Na Opat disebut hasuhuton atau suhut sihabolonan. Paidua ni Suhut adalah menjadi koordinator kegiatan. Paidua ni Suhutlah yang mengkordiner semua pekerjaan horja.

Panombol atau Parsinabung adalah menjadi juru bicara, pengatur acara dan pembawa acara dan yang berkaitan dengan itu. Pamutlak adalah yang menanggung jawabi semua kebutuhan horja baik panjambaran maupun indahan masak dan yang berkaitan dengan itu.
Panasap atau panambak adalah yang menanggung jawabi hubungan pekerjaan dengan bius agar turut berkegiatan dengan horja. Panambaklah yang menjadi penghubung kesegala fungsi dan penjuru. Tanduk harajoan adalah yang turut bertanggung jawab memberikan saran atau nasehat.
Dapat dikatakan bahwa fungsi kekerabatan Batak Toba adalah merupakan panitia tetap atau komite pada organisasi modern.
Tonggo raja adalah sesuai dengan rapat panitia pembagian tugas.
Bedanya terletak pada apabila di panitia ada pembagian tugas maka pada tonggo raja sudah mengetahui tugas masing – masing sesuai dengan partubu. Yang dibicarakan pada tonggo raja adalah apa yang bagaimana pekerjaan horja yang direncanakan hasuhuton.

Continue lendo >>

Sopan santun dalam istilah kekerabatan Batak Toba

Memang agar ruet menulis istilah kekerabatan ini. Tetapi apabila kita usahakan untuk memahaminya, berarti kita sudah agak mudah memahami sopan santun kekerabatan Dalihan Na Tolu Suku Batak. Sopan santun kekerabatan maksudnya adalah bagaimana seharusnya seseorang, keluarga, sekelompok kekerabatan bersikap prilaku baik cara menyapa, bertutur kata menyebut atau memanggil maupun cara duduk terhadap seseorang, keluarga kelompok kekerabatan dan masyarakat. Untuk mempermudah memahami sopan santun kekerabatan hendaklah kita pahami lebih dahulu bahwa prinsip dasar sopan santun kekerabatan Dalihan Na Tolu adalah : Somba marhula – hula, elek marboru, manant mardongan tubu ( mardongan sabutuha ). Maksudnya setiap insan suku Batak harus hormat kepada hula – hulanya, kelompok kerabat hula – hula, tulang, bona tulang dan bonaniari termasuk kepada semua marga yang dikategorikan olehnya sendiri, termasuk ke dalam kelompok hhulu – hulanya. Biarpun dalam suatu kejadian, kelompok hula – hula ada yang bersifat kasar, adalah kewajiban seseorang yang menganggap yang bersikap kasar tadi itu hula – hulanya dengan cara lemah lembut hormat dengan penuh sopan santun bahwa perbuatan hula – hulanya itu tidak baik.
Pada umumnya sihula – hula akan sadar akan perbuatannya dan kembali seperti biasa. Adalah sangat malu seseorang hula – hula bersikap kasar di hadapan borunya. Jika seseorang hula – hula tidak malu berbuat demikian pada hari – hari lain dia akan tersingkir sendiri, karena merasa malu terhadap masyarakat sekitar atau terhadap kelompoknya.
Somba artinya Sembah, pengertian ini sudah jelas bagi kita bagaimana sikap perilaku seseorang terhadap hula – hulanya. Disamping tangan turut menyembah, tutur kata, cara duduk dan semua tingkah laku harus turut menyembah yang dilaksanakan dengan penuh hormat dan kesopanan.
Mengapa, sampai demikian pengnhormatan ini berlebih – lebihan terhadap hula – hula ( kelompok hula – hula ) adalah berdasarkan pandangan bahwa hula – hula ( kelompok hula – hula itu ) merupakan Debata Naniida atau Tuhan yang nampak di dunia ini. Jadi berdasarkan pandangan ini bahwa kelompok hula – hula itu adalah merupakan wakil Tuhan bagi boru di dunia ini. Pandangan suku Batak ini adalah gambaran seseorang Batak betapa cintanya, sayangnya, hormatnya ia terhadap ibunya sendiri dan penghormatan orang Batak terhadap wanita. Menyembah kepada hula – hula pihak saudara laki – laki ibu berarti dalam gambaran saying kepada ibu. Memang dalam kehidupan sehari – hari demikianlah adanya dan itu dapat kita lihat dari lagu – lagu Batak lebih banynak kata inang yang muncul dari kata amang di dalam lirik lagu.
Elek marboru maksudnya sikap seseorang haruslah persuasif terhadap borunya. Didalam kehidupan sehari – hari sikap seseorang hula – hula haruslah selalu lemah lembut terhadap borunya. Penuh bujuk dan ceria tidak kaku. Pada setiap perjumpaan antara boru dengan hula – hulanya sikap itu terus jelas nampak, gembira dan penuh persaudaraan satu sama lain disertai dengan kata – kata lemah lembut.
Pembicaraan agak bebas, keluar dari lubuk hati, bersikap terbuka dengan kata – kata yang sopan. Hula – hula selau mengambil hati boru.
Dapatlah dikatakan segala usaha dilakukan hula – hula agar hati boru tetap tenang. Segala sesuatu yang mungkin menyinggung hati boru hendaklah disingkirkan jauh – jauh. Dengan demikian suasananya akan penuh persaudaraan saling hormat menghormati.
Hubungan kekerabatan demikian tejadi adalah berdasarkan pandangan suku Batak bahwa wibawa ( sahala ) hula – hula itu kuat, berkat kekuatan borunya.
Boru menganggap hula – hulanya sebagai Tuhan yang dilihat untuk memberkatinya, sebab itu boru harus menyembah dan memberikan segala sesuatu demi wibawa hula – hulanya. Hula – hulanya menyadari itu, sebab itu hati boru harus senang, tidak boleh tersinggung maka ia harus bersikap bujuk.
Sudah kita jelaskan dimuka hak dan kewajuban kelompok kerabat Suku Batak. Borulah yang menjadi tiang beban pelaksanaan setiap upacara horja didalam hubungan formal dan non formal. Bukan saja hanya bantuan tenaga dan pikiran tetapi terutama dalam bantuan material.
Malahan korban jiwa pun demi hula – hula sering terjadi dilingkungan masyarakat Batak. Jika ada sesuatu kejadian pada masyarakat Batak sidang kelompok dengan tubu terus saja meminta pendapat boru untuk saran penjelasan.
Pendapat boru ini sangat penting, karena apa saja keputusan siding, pelaksanaanya adalah boru. Dengan demikian wajarlah agar hati boru ini dibujuk oleh hula – hulanya dan segala silang sengketa harus dijauhkan terhadap boru. Kaitan pandangan suku Batak Toba sangat erat dengan kelahiran. Itulah sebabnya Suku Batak mengharapkan kelahiran anak – anak laki – laki dan anak perempuan di dalam kehidupan setiap keluarga. Nampak – nampaknya belumlah sempurna satu – satu keluarga apabila keluarga itu belum lengkap melahirkan anak laki – laki dan perempuan.
Tentu ini menimbulkan masalah dikemudian hari. Masalah ini memang dapat diatasi dengan kelompok kekerabatan keluarga itu.
Manat Mardongan tubu atau mardongan sabutuha maksudnya agar didalam hubungan sehari – hari maupun didalam upacara horja, setiap yang bersaudara laki – laki haruslah bersikap prihatin terhadap sesamanya.
Prihatin maksudnya adalah was – was dan hati – hati pada sikap tingkah laku satu sama lain agar wawasan kekeluargaan tetap utuh didalam kelompok kekerabatan. Pada pembicaraan adalah sangat terbuka dan bebas.
Tetapi didalam kebebasan itu harus ada seringan pembicaraan agar yang lain jangan tersinggung. Apabila sempat tersinggung keretakan akan timbul ibarat kebakaran yang sulit dipadamkan. Sebab itu pembicaraan bebas dan demokrasi haruslah terkendali demi kelompok kekerabatan.
Enak memang, pembicaraan nampaknya kasar tetapi hatinya bersih. Tetapi bagaimana kita dapat mendengar suara keras yang nampaknya kasar itu dengan melihat hati yang bersih ?
Mengapa harus hati – hati terhadap sesama bersaudara dan kawan semarga ?. bukankah mereka lahir dari rahim yang sama yang sama atau ayah yang sama ?
Bukankah mereka semarga didalam prinsip keturunan kekeluargaan lebih mudah dipersatukan karena adanya pertalian darah ?
Memang benar demikian, karena nenek moyang kita adalah pemikir, pencipta dan berkat pengalamannya maka diciptakannyalah sikap sopan santun kekerabatan ini agar sesama bersaudara haruslah prihatin dan was – was agar wawasan kekeluargaan tetap berkesinambungan untuk sepanjang jaman.
Mereka yakin dengan sikap manta mardongnan tubu, kelompok kekerabatan semarga akan tetap berkelanjutan dengan utuh. Pandangan Suku Batak ini terjadi dengan pola pemikiran bahwa Dongan Tubu inilah prinsip dasar dalam kelompok kekerabatan Dalihan Na Tolu; pusat keinginan penyusunan rencana dan program kegiatan perkembangan suku bangsa; pusat rencan dan program atau suhut yang menjadi titik tolak perkembangan maju mundurnya organisasi kekerabatan itu.
Jika sesama mereka tidak sejalan apakah yang dapat direncanakan dan diprogramkan ?. prihatin maksudnya adalah agar semua sesama saudara itu turut bantu membantu untuk kemajuan sesama bersaudara baik kemajuan material maupun di dalam budaya spiritual. Didalam perkembangan selanjutnya sesama kelompok kekerabatan ada sampai membuat yayasan keluarga yayasan marga demi kemajuan keluarga dan marag itu. Was – was maksudnya agar wawasan kelompok kekerabatan tetap utuh. Janganlah wawasan kelompok kekerabatan menjadi hilang akibat dari pada ketidak kehati – hatian seseorang anggota sesama saudara atau semarga.
Sudah kita katakan tadi bahwa dongan tubu itu adalah pusat kegiatan atau suhut. Kalau pusat kegiatan itu goyah karena sikap dan pembicaraan yang tidak kehati – hatian maka wawasan kekerabatan akan goyah. Kalau wawasan kekerabatan ini goyah serupa dengan kejadian kebakaran yang sulit untuk memadamkannya. Itu terjadi karena lebih banyak yang mengipas – ngipas api dari yang memadamkannya.
Suadahmenjadi sifat manusia rupanya lebih menonjol keakuan ( egois ) dari pada kesosialan. Kesosialan kekeluargaan agak sulit ditrapkan karena lebih banyak pikiran – pikiran yang heterogen dari luar yang mempengaruhi dari pada pikiran yang homogen dari dalam keluarga inti itu.
Misalnya seseorang keluarga mempunnyai 3 anak laki – laki 3 anak perempuan masing – masing sudah berumah tangga. Didalam siding kelaurga sudah ada 12 suara. Biasanya suami isteri adalah sama. Kita annggaplah dahulu bahwa pendapat sesama bersaudara yang enam orang itu adalah sama atau homogen tetapi karena isteri – isteri dan suami – suami sesama bersaudara yang datang dari luar pasti berlatar belakang pemikiran yang berbeda satu sama lain atau heterogen. Jika 6 orang sesama saudara pemikirannya adalah homogen 6 orang dari luar pemikirannya heterogen yang kuat pengaruhnya karena sudah menjadi isteri dan suami dari keluarga itu akan lebih banyak menimbulkan kesulitan dikalangan keluarga.
Walau keluarga anak laki – laki yang mengambil kesimpulan tetapi pendapat dari anak perempuan dan suaminya adalah sangat penting sebagai penannggung beban. Selama orang tua mereka mamsih hidup, khikmat kebijaksanaan untuk memimpin mereka mamsih cukup kuat untuk mengendalikan keluarga itu. Dan kalaupun orang tua mereka telah meninggal selama anak sulung laki – laki masih berwibawa, keluarga itu masih tetap utuh. Tetapi apabila anak sulung laki – laki tidak berwibawa lagi dan adik – adiknya sudah berani bercakap kasar kepada abangnya mungkin karena warisan atau dipengaruhi isterinya maka kekeluargaan akan pecah dan akan menjalar seperti api kepada keluarga – keluarga isteri. Jika yang demikian itu sudah sempat terjadi seperti maka kesatuan keluarga itu akan berantakan sampai turunan – turunannya kemudian tiada persatuan dan kesatuan lagi. Yang paling menderita dalam kejadian ini adalah saudara – saudara mereka yang perempuan. Mereka menjadi bingung siapa diantara hula – hula yang menjadi pegangan. Apabila mereka memilih salah satu saudaranya berarti boru itu sudah tutur membakar keluarga itu karena telah memihak.
Sebab itu si boru harus menyatukan hula – hula mereka, jika berhasil akan menimbulkan kegembiraan dan kerugian materi apabila tidak berhasil maka mereka akan malu dan akan tetap malu sepanjang masa dengan turunannya, sehingga tidak jarang seseorang keluarga melarang anaknya mengawini keluarga yangn demikian itu.
Supaya hal yang seperti ini tidak terjadi maka diciptakanlah sopan santun pergaulan sesama saudara laki – laki, namardongan tubu agar tetap manat mardongan tubu atau prihatin dan was – was terhadap sesama saudara yang dimulai sejak anak lahir itu, didalam pendidikan keluarga seperti yang kita tulis berikut ini.
Tetapi sebelum sampai pad tulisan tersebut adalah lebik baik apabila kita mulai lebih dahulu akan arti tanggung jawab hak dan kewajiban perorangan, keluarga kelompok kekerabatan dan masyarakat.
Raja dalam pengertian Suku Batak ada dua jenis. Satu sebagai raja pemerintahan yang mengendalikan rakyatnya. Dua sebagai pengertian tanggung jawab akan hak dan kewajiban.
Didalam tulisan ini maksud raja adalah pengertian tanggung jawab dan kewajiban Suku Batak, Raja ni Dongan tubu, maksudnya adalah penghormatan yang diberikan kepada dongan tubu yang tahu dan dapat melaksanakan hak dan kewajiban sebagai dongan tubu didalam kegiatan itu atau horja itu.
Demikian pula dengan Raja ni hula – hula maksudnya adalah penghormatan dan panggilan kepada hula – hula yang tahu dan dapat melaksanakan hak dan kewajiban dan hak sebagai hula – hula didalam kegiatan itu.
Raja ni borupun demikian juga adalah merupakan panggilan dan penghormatan kepada boru yang dapat mengetahui, memahami dan melaksanakan kewajiban dan hak sebagai boru pada setiap kegiatan.
Sebagai titik tolak sopan santun pergaulan kekerabatan masyarakat Batak marilah kita mulai dari keluarga basic atau keluarga inti.
Rumah Batak adalah tempat tinggal utama keluarga inti masyarakat Batak.
Menurut pendapat Bapak E. W. P. Tambunan mantan Gubernur Propinsi Sumatera Utara bahwa Ruma itu adalah kependekan dari Ririt di Uhum Manotari di Adat makskudnya bahwa Ruma Batak itu adalah tempat pendidikan akan peraturan – peraturan ( ririt di uhum ) dan tempat belajar akan adat ( manotari di adat ). Setelah anak – anak tahu akan pendidikan dan adat sopan santun sianak tidak boleh lagi tidur di rumah tetapi di SOPO. Sopo itu adalah lumbung padi tempat padi disimpan dan sering dipergunakan para pemuda untuk tidur.
SOPO itu adalah kependekan dari Satahi Olo Parulian Ondop maksudnya para pemuda harus mau bermusyawarah untuk mencapai kata sepakat maka rejeki akan datang berikutnya. Memang di sopo itulah para pemuda menngadakan musyawarah untuk mendapatkan kesepakatan bekerja marsiadapari disawah ladang ( gotong royong ) malahan sampai martandang kepada gadis – gadis di malam hari termasuk merencanakan acara muda – mudi seperti gondangn naposo.
Demikian juga anak – anak gadis dapat tidur bersama – sama di rumah – rumah janda atau di ruma dagang tersendiri. Walaupun ada perjumpaan anak – anak gadis dan pemuda – pemuda disopo atau dirumah janda dimalam hari mereka tidak ada yang melanggar susila karena telah dibekali dengan pendidikan pengetahuan akan peraturan – peraturan dan adat di ruma yang kita katakan tadi.
Bagaimana rupanya pendidikan yang diadakan di Ruma tempat tinggal keluarga inti itu. Pendidikan itu didasarkan pada : Pantun Hangoluan Tois hamagoan, maksudnya bahwa anak – anak yang bersikap prilaku budi luhur adalah merupakan kehidupan sehat rohani dan setiap perbuatan anggap leceh, anggap enteng, semborono dan berpura – pura adalah kehilangan harga diri atau kesusahan. Jadi sejak semula anak –anak telah dididik bersopan santun tutur kata kepada sesamanya dan linngkungannya dan tidak boleh tois – leceh – pandang enteng dan berpura – pura karena nanti hidupnya akan susah.
Pendidikan itu dilakukan sejak kecil, terutama kepada anak sulung diajari bertanggung jawab terhadap adik – adiknya penuh kasih saying dan wibawa dan adik – adiknya dididik hormat kepada yang lebih tua. Anak perempuan dididik merasa hormat dan saying kepada saudara laki – laki walaupun anak laki – laki itu bahwa umurnya dan kepada anak perempuan ditanamkan rasa mendapat perlindungan dari saudara – saudaranya laki – laki.
Demikian kepada anak laki – laki dididik agar pada dirinya tertanam rasa tanggung jawab mengayomi atau melindungi saudara – saudaranya perempuan.
Mereka di ajari cara bertutur kata untuk menyebut atau memanggil keluarga.
Kepada yang lebih tua dipakai perkataan hamu atau anda kepada yang lebih muda boleh memakai kata ho yang artinya adalah anda juga.
Misalnya, si adik disuruh ayahnya memanggil abangnya maka si adik itu akan berkata kepada abangnya : “ hamu abang dijou amanta “, yang artinya abang anda di panggil ayah kita. Sebaliknya jika si abang disuruh si ibu memanggil adiknya maka abangnya akan berkata : ho dijou inanta artinya kau dipanggil ibu kita.
Tetapi terhadap sesama bersaudara baik laki – laki maupun perempuan, mereka akan mengatakan : “ hamu ito dijou amanta “ artinya : anda dipanggil ayah, berlaku untuk saudara laki – laki atau saudara perempuan.
Mereka memang diberi nama untuk dipanggil. Tetapi memanggil seseorang dengan namanya bergantung pada kedudukannya berdasarkan keturunan. Adalah tidak sopan apabila si adik-an memanggil atau menyebut nama abangnya. Hanya yang tua-an dari mereka yang dapat memanggil nama atau menyebut nama adiknya. Demikian pula sesama perempuan yang bersaudara ( marpariban ) memanggil satu sama lain. Hamu angkang dijou inanta, artinya kakak dipanggil mama. Tetapi sebaliknya kakaknya akan mengatakan ho dijou inanta, yang artinya kau dipanggil mamak. Adalah sangat pantang apabila sesama bersaudara laki – laki dan perempuan bertengkar, apabila bercakap kotor.
Dihadapan sesama bersaudara laki – laki dan perempuan janganlah kita bercakap sembarangan atau cakap kotor karena hal itu dianggap menghina. Apabila sesama bersaudara laki – laki bertengkar, pertengkaran itu akan dapat berhenti dengan tiba – tiba apabila saudara perempuan mereka hadir disitu.
Mereka sesama saudara merasa takut akan hal yang akan terjadi, karena sisaudara perempuan tadi akan menangis atau meratap dengan kuat – kuat melihat saudaranya berkelahi.
Saudara perempuan adalah sungkan terhadap saudara laki – laki dan saudara laki – laki saying dan membujuk terhadap saudara peremuan.
Terhadap sesama saudara laki – laki pembicaraan boleh terbuka, akrab dan rapat tetapi harus was – was jangan ada yang tersinggung, si adik sungkan terhadap abangnya dan si abang bertanggung jawab terhadap adiknya.
Terhadap sesama saudara perempuan, sikap terbuka dan bebas penuh keceriaan sesamanya. Si adik mematuhi kakaknya dan si adik boleh manja kepada kakaknya asalkan jangan menjengkelkan. Di dalam tutur Batak saudara sesama perempuanlah yang paling enak/akrab di dalam hubungan kekerabatan.
Tanggo urat ni padang toguan pinggol ni hirang, tabo do na marpadan alai taboan dope na marpariban. Maksudnya bagaimanapun teguh dan enaknya janji didalam persahabatan, jauh lebih enak apabila hubungan kita marpariban, saudara sesama perempuan.
Anak perempuan sungkan kepada orang tuanya. Memang tidak dapat terlukiskan saying anak perempuan kepada ibunya tetapi jauh dari itu saying anak perempuan terhadap ayahnya. Ayah sangat saying terhadap anak perempuan dan memanjakannya. Dalam pembicaraanpun sikap ayah terhadap anaknya perempuan tetap bersikap membujuk dengan kata – kata : hamu ito alusi jolo inanta maksudnya anakda dipanggil mamak.
Sering panggilan hamu ito terhadap anak perempuan diganti dengan ho inang. Didalam kata – kata hamu ito ada hikmad tersembunyi yaitu menyayangi dan didalam kata – kata ho inang terhadap ayahnya perempuan ada hikmad tersembunyi yaitu memanjakan.
Ayah terhadap anak laki – laki selalu bersikap bertanggung jawab baik dalam kata – kata maupun perintah. Hal ini harus dilakukan supaya sejak pagi – pagi hari si anak laki – laki tidak lepas dari rasa tanggung jawab baik terhadap diri sendiri maupun tanggung jawab keluarga. Anak terhadap orang tua laki – laki adalah sangat sungkan. Anak laki – laki itu bersikap dan melihat ayahnya dari sudut wibawa bukan dari sudut kasih saying walaupun kasih sayang itu sebenarnya sudah tertanam di dalam wibawa sang ayah. Sebaliknya anak laki – laki sangat sungkan kepada ibunya, yaitu sungkan yang penuh kasih sayang dalam hubungan hati terbuka seperti bersaudara. Anak laki – laki sangat saying terhadap ibunya, malahan wibawa ibu dapat dilihat dari sudut kasih sayang terhadap anaknya.
Sering ibu mengatakan kepada anaknya laki – laki dengan kata –kata : “ Molo ho daba “ maksudnya hikmat kata – kata ibu menganggap anaknya laki – laki itu sudah sebagai penanggung jawab di dalam keluarga sebagaimana tanggung jawab suaminya terhadap dirinya. Maka tidak jarang terhadap keluarga Batak bahwa ayah lebih memanjakan anaknya perempuan dan ibu lebih memanjakan anak laki – laki dan sebaliknya anak perempuan lebih menyayangi ayahnya dan anak laki – laki lebih menyayangi ibunya. Sebab itu ayah ibu harus lebih bijak menerima sungkan anak – anaknya karena akibat kenyataan kasih saying yang berbada akan menimbulkan sedikit demi sedikit keretakan yang tidak disadari didalam keluarga itu.
Didalam hal pemanggilan sesame keluarga yang kita sebutkan tadi terutama dengan panggilan nama yang terdapat pada satu – satu keluarga, kita akan dapat melihat sejauh mana pendidikan kekerabatan yang sudah ditrapkan didalam keluarga itu. Justru ukuran dahulu untuk mengikat kekeluargaan dengan perkawinan banyak dilihat dari sudut cara bercakap bertutur utama mengikat kekerabatan dan yang lain adalah soal kedua.
Pada perkembangan sekarang ini hal yang demikian sudah sangat jarang didapat, terutama bagi anak – anak yang sudah lahir di luar Bona Pasogit. Sedang di Bona Pasogit sendiripun cara sopan santun kekerabatan ini sudah sangat jauh tertinggal didalam pelaksanaan. Hal ini akan lebih mendalam dibahas pada pergeseran nilai pandangan Suku Batak. Pergaulan sesama keluarga sekarang, baik di kota maupun di desa sudah banyak di pengaruhi pergaulan cara modern. Tetapi masih nampak sedikit, baik anak desa terutama anak kota masih ada penghargaan anak – anak itu kepada kebudayaan leluhurnya. Justru inilah maksud utama penerbitan buku ini. Kalaupun sudah ada pergeseran nilai budaya sistem kekerabatan dengan memahami kembali akan nilai tradisional positip dari nenek moyang kita itu akan menarik perhatian generasi – generasi berikutnya melaksanakan sistem kekerabatan nenek moyang kita. Pada generasi itu akan terjadilah restorasi nilai budaya sukunya di dalam kesatuan bangsa yang berbeda – beda tetapi tetap satu di dalam kesatuan bangsanya.
Apabila kita telah menggambarkan bagaimana sikap perilaku tentang sopan santun pada keluarga inti ( basic family ) bagaimana sikap terhadap saudara sesama laki – laki, sikap saudara laki – laki terhadap saudaranya perempuan dan sebaliknya, sikap terhadap saudara sesama perempuan dan sikap anak – anak terhadap orang tuanya serta sebaliknya demikianlah sikap sopan santun antara turunan sesama saudara laki – laki namarhaha – maranggi dan namariboto. Artinya sikap sesama saudara lelaki, saudara laki – laki dengan saudara perempuan dan sesama saudara perempaun adalah sama terhadap turunan abang atau adik ayah laki – laki.
Lain halnya terhadap anak dari saudara perempuan ayah. Lae Boru yaitu anak laki – laki dari saudara perempuan ayah harus bersikap rasa hormat di dalam sesama persaudaraan dengan Lae tunggane-nya dan lae tunggane harus bersikap rasa membujuk dalam suasana persaudaraan juga terhadap lae boru-nya. Sedang terhadap ito anak perempuan dari saudara perempuan ayah terhadap anak laki – laki saudara ibu perempuan itu, juga harus dengan sikap membujuk dan sebaliknya juga perempuan merasa hormat terhadap saudara laki – laki anak saudara laki – laki anak saudara ibunya.
Yang paling menarik adalah sikap perilaku anak perempuan seorang ayah terhadap anak laki – laki dari saudara perempuan ayah adalah bebas dan gembira karena maranak ni namboru dan namarpariban. Boleh dengan seloro, bergurau, karena menurut adat Batak, hubungan ini lah yang diperkenankan untuk kawin mengawini sedang terhadap anak perempuan dari saudara perempuan ayah itu yaitu namareda sikapnya adalah sayang dan sebaliknya eda saudara anak ni namboru harus merasa hormat terhadap eda pariban saudara sendiri.
Demikian sikap sopan santun antara turunan sesama saudara dan sikap sopan santun ini berkembang luas terhadap saudara – saudara semarga. Dengan mengetahui sikap sopan santun turunan sesama saudara perlu juga rasanya diketahui sikap sopan santun sesama saudara dan kekerabatan selanjutnya.
Adik harus hormat dan sungkan terhadap abang laki – laki ( marhaha maranggi ) dan abangnya saying dan bersifat melindungi terhadap adiknya di dalam suasana bebas tetapi harus dibarengi kehati – hatian agar jangan terjadi keretakan.
Saudara laki – laki harus bersifat saying dan membujuk kepada saudara – saudara perempuan ( namariboto ) dalam suasana ceria dan saudara perempuan harus sungkan terhadap saudara laki – laki dalam suasana perasaan bahwa saudara perempuan barhak untuk dilindungi saudara laki – laki.
Adik laki – laki harus sungkan terhadap isteri abangnya ( marangkang boru ) dalam suasana sayangi dan manja, karena si adik merasa sebagai anak dari kakaknya dan kakaknya merasa saying bebas terhadap adiknya laki – laki dengan suasana perasaan bahwa ia bertanggung jawab akan adik – adiknya dan merasa dirinya sebagai ibu dari adik – adik suaminya.
Sebaliknya isteri adik harus sungkan, hormat dan segan terhadap abang suaminya ( marhaha doli ) dan abang suaminya harus segan dengan rasa menghormati melindungi kepada isteri adiknya ( maranggi boru ) malahan dalam hubungan yang ekstrim tidak boleh bersalaman, bersiteguran apalagi berjumpa ditengah jalan tidak ada teman, salah seorang dari mereka harus menyingkir.
Didalam percakapan resmipun kata – kata mereka harus didahului dengan hamu inang, atau hamu amang atau nasida haha doli atau nasida anggi boru. Isteri adik terhadap isteri abang ( sapaniaran ) harus sungkan didalam suasana persaudaraan dan isteri abang terhadap isteri adik bersikap sayang bebas melindungi. Tetapi didalam prakteknya sikap mereka tidak serasi dan malahan saing – menyaingi. Sikap prilaku suami terhadap saudara laki – laki isterinya ( marlae tunggane ) haruslah sungkan didalam suasana menghormati dan menghargai, sebaliknya saudara laki – laki terhadap suami saudara perempuan merasa membujuk menghormati dan menyayangi ( marlae boru ) dalam suasana persaudaraan.
Sikap prilaku suami terhadap isteri saudara laki – laki isteri ( marbao atau marbesan ) haruslah segan dan hormat dan demikian sebaliknya dalam suasana persaudaraan. Sikap sopan santun ini serupa halnya dengan sikap sopan santun marhaha doli dan marangngi boru dan di dalam prakteknya nampaknya kaku. Demikian juga halnya saudara perempuan haruslah sungkan terhadap isteri saudara laki – laki ( mareda – marhula – hula ) dalam suasana persaudaraan dan demikian pula sebaliknya sikap isteri saudara laki – laki terhadap saudara perempuan ( mareda – marboru ) adalah saling menghormati.
Tetapi di dalam prakteknya hubungan ini banyak yang tidak serasi karena sikap mereka yang tidak tolerans. Isteri menganggap edanya mencampuri rumah tangga dan saudara perempuan menganggap edanya terlalu menjauhkan saudara laki – laki dari dari saudara – saudara perempuan. Hubungan yang paling mesra dan ceria dengan sikap sopan santun yang bebas adalah sikap sesama saudara perempuan yaitu namarpariban. Sikap ini mengalir juga terhadap suami – suami mereka.
Suasana persaudaraan namarpariban ini adalah merasa satu, merasa setanggung jawab, mereka sering berbicara dengan kata hati. Kakak bersama suami merasa melindungi terhadap adik dan suaminya dan si adikpun merasa demikian. Sebaliknya si adik dan suami merasa hormat dan sayang bangga terhadap suami dan kakaknya ( marangkang pariban dan maranggi pariban )
Demikianlah sikap sopan santun sesama saudara yang berkembang lebih luas pada kelompok kekerabatan dan kelompok semarga.
Marilah kita lanjutkan sikap sopan santun sesama saudara terhadap orang tua dan beberapa hubungan vertikal ke atas, sistem kekerabatan suku Batak. Sikap anak terhadap ibu – bapaknya adalah sama untuk suku bangsa di Indonesia tetap hormat dan sungkan, tetapi di dalam hubungan menantu dengan mertua tentu ada perbedaan.
Sikap perilaku menantu perempun terhadap mertua laki – laki harus sungkan dan hormat dalam arti segan ( marsimatua doli ) demikian pula sikap mertua laki – laki terhadap menantu perempuan adalah hormat melindungi dalam arti segan menyayangi ( marparumaen ). Pembicaraan harus sopan dan percakapan sering didahului dengan kata – kata :” hamu amang” atau “ nasida amanta simatuangku “. Malah apabila parumaen mau menjumpai mertua laki – laki harus diusahakan ada teman dan cara berpakaianpun harus cukup sopan agar jangan salah penilaian mertua.
Demikian pulalah sikap mertua laki – laki terhadap menantu perempuan tidak boleh berbicara bebas malahan dalam setiap pembicaraan harus didahului kata – kata “ Hamu inang parumaen “, atau “ Nasida inanta parumaen “. Adalah tidak baradat apabila ada mertua laki – laki berduaan dengan menantu perempuan. Jikapun ada perjumpaan yang tidak disengaja, masing – masing kedua belah pihak berusaha untuk menyingkir. Bagaimana sikap prilaku sopan santun meramang bao / marinang bao, marhaha doli/ maranggi boru demikianlah harus sikap sopan santun terhadap marsimatua doli dan marparumaen.
Sikap sopan santun menantu perempuan terhadap mertua perempuan ( marsimatua boru ) adalah sungkan dan hormat dengan perasaan melindungi. Sebaliknya mertua perempuan terhadap menantu perempuan adalah bersifat menyayangi ( marparumaen )
Hubungan mereka adalah bebas saling hormat menghormati, malahan panggilan “ inang simatuangnku “ sering berganti dengan namboru, karena telah dianggap sebagai saudara perempuan dari ayah sendiri. Tetapi di dalam hubungan sehari – hari sering tidak ada keserasian. Malah hubungan mereka sering menimbulkan masalah keluarga yang menimbulkan pertengkaran.
Seolah – olah antara mertua dan menantu beranggapan bahwa siparumen menjauhkan anaknya dari dirinya dan siparumaen beranggapan bahwa mertua menjauhkan suaminya dari dirinya.
Bagaimana pula hubungan sopan santun antara menantu laki – laki terhadap orang tua isteri atau mertuanya ( marsimatua ) dan bagaimana pula sikap mertua terhadap menantu ( marhela ) suami anaknya ?. Sikap sopan santun antara menantu laki – laki terhadap mertua laki – laki adalah sungkan dalam rasa berwibawa disegani dan mertua laki – laki terhadap menantu laki – laki adalah hormat, sayang dan membanggakan. Dmikian juga lah sikap mertua perempuan terhadap menantu laki – laki mempunnyai rasa segan tetapi menganggap menantu itu atau memperlakukan menantu itu sebagai anak sendiri sebagaimana sayangnya kepada anak perempuan isteri menantu.
Mereka bicara sopan dalam suasana sayang hormat – menghormati dan si mertua tetap merasa bangga akan menantunya. Hubungan ini adalah salah satu hhubungan sopan santun yang ceria dalam sopan santun kekerabatan Dalihan Na Tolu. Bagaimana ceria sikap sopan santun sesama saudara marpariban demikianlah sopan santun marsimatua boru dibarengi dengan rasa sungkan satu sama lain. Tinggal lagi rasa ceria marsimatua boru disimpan di dalam hati dengan perilaku hormat, sopan, dan penih keseganan satu sama lain, sedang marpariban ceria sikap sopan santun ini terbuka dan bebas. Seolah – olah hubungan mertua perempuan dengan anak – anaknya perempuan beserta suami masing – masing satu front menghadapi menantu – menanntu perempuan isteri – isteri dari anaknya.
Didalam kenyataan hidup pada pelaksanaan sistem kekerabatan suku Batak ini timbul pertanyaan : mengapa setiap menantu laki – laki sangat hormat dan sangat baik terhadap mertuanya, orang tua isterinya dan sebaliknya mengapa menantu perempuan sering tidak serasi malahan tak cocok terhadap mertua orang tua suaminya ?. ( Boasa ia baoa mansi denggan jala burju marsimatua hape ia borua indang apala burju marsimatua ? ).
Kenyataan hidup ini perlu diseminarkan demi keserasian hubungan kekerabatan pada Suku Batak. Sopan santun yang tidak kalah menarik adalah tentang memanggil atau menyebut seseorang. Supaya sasaran person tepat terhadap panggilan maka setiap orang diberi nama atau gelar bagi seseorang untuk memanggilnya, atau sebagai identitas pribadi bagi pribadinya. Jika demikian berarti nama itu adalah untuk disebut – sebut dan dipanggil – panggil pengganti diri istilah kekerabatannya. Tetapi sebaliknya adalah menarik bahwa seseorang Suku Batak terlebih – lebih Batak Toba tidak akan terasa enak apabila namanya dipanggil pengganti dirinya jika tidak pada tempatnya.
Dan malahan ia akan merasa senang jika dipanggil dengan marganya atau dengan gengan yang diberikan kepadanya berdasarkan anak sulung.
Rupanya penyebutan dan panggilan nama bagi Suku Batak terikat pada sikap sopan santun kekerabatan Suku Batak dengan alasan bahwa harga pribadi terdapat atau termasuk didalam cara menyebut atau memanggil nama seseorang.
Sesama saudara, semarga, sekampung, sepergaulan memang diperkenankan memanggil seseorang dengan namanya, tetapi pemanggilan itu masih sopan apabila yang dipanggil dengan namanya itu belum berkeluarga.
Pada mulanya pemanggilan seseorang dengan namanya hanya diperkenankan berdasarkan kedudukan pribadinya. Pada umumnya pemanggilan seseorang dengan namanya itu dilakukan yang lebih tua kepada yang lebih muda, pemanggilan abang kepada adiknya dan panggilan kakak kepada adiknya dan panggilan saudara laki – laki terhadap saudara perempuan sebaliknya adik tidak boleh memanggil abangnya dan kakaknya dengan namanya karena kurang sopan. Ayah – ibu boleh memanggil nama anak – anaknya tetapi anak – anak tidak boleh menyebut nama orang tuanya, konon untuk memanggil orang tua dengan namanya adalah sangat tabu bagi suku Batak. Nenek – nenek boleh memanggil nama cucu – cucunya tetapi cucu memanggil nenek harus dengan istilah kekerabatannya.
Dalam perkembangan selanjutnya apabila anak – anak sudah berkeluarga adalah tidak enak apabila ayah dan ibunya memanggilnya dengan namanya.
Orang tua menyadari itu maka anaknya itu akan dipanggil dengan gelarnya berdasarkan anak sulung, Amani si Togar misalnya. Apabila ia belum mempunyai anak maka gelarnya adalah nama anak kedua atau ketiga dan seterusnya dari anak abangnya. Seseorang isteri akan merasa tersinggung apabila suaminya masih dipanggil dengan namanya tidak dengan gelarnya oleh orang tua atau oleh siapapun juga. Hal itu terjadi adalah berdasarkan anggapan bahwa pemanggilan seseorang dengan namanya hanya boleh dilakukan terhadap anak – anak.
Jadi jika suaminya masih dipanggil dengan namanya berarti si isteri dianggap bersuamikan anak – anak. Pemanggilan itu tidak hanya berlaku terhadap laki – laki saja tetapi juga terhadap perempuan. Seseorang saudara perempuan yang sudah bersuami akan marah terhadap saudaranya laki – laki apabila ia masih dipanggil dengan nama kecilnya. Kadang – kadang pemanggilan dengan nama kecil seseorang walaupun sudah berkeluarga masih boleh dilakukan pada saat berseloroh dan bernostalgia atau memuaskan melepaskan rindu.
Penyebutan atau panggilan nama seseorang ayah atau nenek oleh seseorang anak akan dapat menimbulkan perkelahian anak – anak menjadi perkelahian orang dewasa dan keluarga karena dianggap menghina. Itulah sebabnya seseorang Batak akan merasa senang apabila dia dipanggil dengan marganya secara nasional dan gelarnya untuk sesama keluarga.
Juga seseorang Suku Batak akan merasa tidak enak apbila ia dipanggil dengan marganya didalam kelompok kekerabatan / keluarga dekat dan baru merasa senang apabila ia dipanggil dengan gelarnya misalnya Amani Togar. Jadi bukanlah merupakan kecongkakan atau kesombongan atau penonjolan diri pada setiap perkenalan dengan masyarakat luas apabila selalu memperkenalkan diri dengan marganya. Mungkin orang luar akan beranggapan akan mengatakan kepada seseorang Suku Batak “ Yang panatik kali-lah kawan ini kepada Bataknya ” karena memperkenalkan diri dengan marganya.
Memperkenalkan diri dengan marga itu akan dijelaskan lebih luas pada tulisan kemudian. Didalam kehidupan sehari – hari sopan santun kekerabatan kadang – kadang berbalikan dengan tata cara Sopan santun. Orang – orang luar mungkin memandangnya kasar, tetapi bagi yang merasakan dan yang melakukan, cara begitulah mendapat rasa nikmat yang terasa khikmatnya. Makin kasar semakin enak dirasa dengan anggapan sudah keluarga dekat. Didalam keluarga batih dengan sopan santun yang kita tuliskan dimuka hendaklah dianggap hikmat dihati sebagai buah cara kasar yang dilakukan. Berkat dengan bebas didalam keluarga adalah menunjukkan keluarga dekat. Apabila seseorang sudah ditolerer dapat berbicara bebas dengan bahasa bebas terhadap seseorang berarti ia sudah dianggap keluarga dekat dengan kawan, bicaranya atau teman akrabnya tiada batas.
Adalah tidak enak apabila berbicara hamu ( halus ) terhadap pariban tetapi harus memakai kata ho ( kasar ) baru terasa bagaimana hikmatnya namarpariban itu. Kadang – kadang sesama saudarapun memakai demikian, berarti tiada jarak antara sesama saudara. Malahan sebahagian Suku Batak ada yang memakai ho ( kasar ) terhadap ayahnya sedang daerah lain masih memakai hamu ( halu ).
Dapatlah dipahami dalam hubungan sopan santun pergaulan Suku Batak adalah sopan apabila dapat bicara bebas dengan bahasa bebas bagi keluarga yang dianggap dekat tiada jarak, dari pada bicara halus terhadap keluarga dekat.
Beberapa istilah kekerabatan yang dipergunakan untuk menyebutkan atau menyapa seseorang dan dianggap hormat dan sopan seperti berikut ini : Ompung dipergunakan oleh seseorang baik laki maupun perempuan terhadap yang sudah dianggap nenek baik laki – laki maupun perempuan.
Amang dipergukan oleh seseorang baik laki – laki maupun perempuan terhadap seseorang laki – laki yang dianggap sudah berkeluarga dan lebih tua dari seseorang itu atau sama bayanya.
Inang dipergunakan oleh seseorang baik laki – laki maupun perempuan terhadap seseorang ibu yang sebaya dengan orang itu atau lebih tua dari padanya.
Ito dipergunakan oleh seseorang baik laki – laki maupun perempuan terhadap lawan jenisnya.
Sapaan – sapaan ini, atau sebutan – sebutan ini adalah merupakan sapaan atau sebutan umum yang cukup hormat dan sopan kepada semua pikah sebelum perkenalan. Sesudah berkenalan. Sesudah berkenalan dan bertutur barulah dapat diatur panggilan atau sebutan yang lebih khusus dalam istilah kekerabatan.
Tak ada panggilan umum terhadap sesama laki – laki maupun terhadap sesama perempuan tidak menimbulkan reaksi sebelum berkenalan atau bertutur. Sebab itu timbullah istilah ba, daba, baya, kedan, kode, pedan yang artinya kawan atau dongan walau sebenarnya agak bebas tetapi perkataan itu enak rasanya kepada yang sudah akrab. Memang ada sapaan atau sebutan terhadap sesama laki – laki tetapi arahnya sudah lebih khusus misalnya : ampara bagi sesama saudara, lae, bagi lelaki sesama saudara marhula – hula marboru termasuk tunggane yang dirasa masih dalam ruang lingkup bahasa sopan santun didalam panggilan.
Ada sebagian, daerah asal berbicara atau menjawab seseorang selalu memakai kata amang boru. Memang bahasanya hormat, tetapi didalam rasa hormat itu tersembunyi sesuatu keakuan bahwa ia sudah menjadi hula – hula dengan lawannya bicara dengan demikian ia harus diperlakukan sebagai hula – hula. Sedang daerah lain asal memanggil / menyebut atau menjawab seseorang selalu dengan kata – kata tulang. Perkataan tulang itu sebenarnya hormat, berarti dengan sebutan tadi dia telah merendah diri terhadap lawan bicaranya tetapi bahayanya mungkin kawan bicaranya tadi adalah semarganya yang mungkin akan menimbulkan kejengkelan karena tidak tepat pertuturannya. Disamping itu agar ia diperlakukan sebagai boru sehingga dapat berlakon bebas dimanjakan.
Disamping itu ada sebutan – sebutan atau sapaan – sapaan yang timbul di Indonesia yang maksud si penyapa adalah hormat tetapi dalam artinya adlah kebalikannya dan tidak lucu. Sebutan – sebutan itu adalah seperti : inang artinya ibu dan boleh sebagai panggilan terhadap seseorang ibu. Inang – inang artinya bukan ibu – ibu tetapi adalah isteri atau lebih tepat bini. Ina artinya ibu juga, tetapi tidak boleh dipakai sebagai panggilan.
Ina – ina artinya adalah ibu yang sudah beranak tetapi boleh juga dipakai sebagai ibu – ibu tetapi sebutan ina – ina sebagai ibu – ibu sebenarnya sudah kasar, sebutan yang sopan untuk ibu – ibu adalah “ Angka ina ”.
Demikian pula halnya dengan amang, artinya adalah bapak atau boleh sebagai panggilan. Amang – amang artinya sudah menjadi suami.
Ama artinya bapak dengan perasaan cukup beribawa. Ama – ama adalah laki – laki yang sudah berkeluarga atau beristeri tetapi boleh pula artinya bapak – bapak seperti ina – ina tadi.Demikianlah sekelumit sikap sopan santun sistem kekerabatan Suku Batak. Dengan mengetahui istilah – istilah sistem kekerabatan suku Batak ini, maka setiap orang yang dalam dirinya telah tertanam kian budaya leluhur dengan sendirinya akan bersikap prilaku memakai istilah kekerabatan ini dalam tata cara sikap prilaku sapaan – sapaan, apabila mengadakan komunikasi dengan suku Batak.

Continue lendo >>

Sopan Santun Dalam Memakai Bahasa Pada Orang Batak Toba

Horas bah tegur seseorang terhadap seseorang Batak Toba akan merasa diejek dengan selam itu, karena kesalahan mempergunakan bahasa. Yang baik adalah dengan ucapan horas ba yang maksudnya selamat sejahtera kawan.
Membuat – buat tekanan bahasa pada pertemuan yang tidak tempatnya dengan mencontoh – contoh dialek Batak, juga dianggap merupakan ejekan. Sebab itu pakailah tekanan bahasa yang wajar, tidak dibuat – buat.
Ada satu keunikan mempergunakan bahasa itu untuk berkomunikasi.
Misalnya : bahasa yang sifatnya kasar adalah menunjukan persahabatan bagi yang sudah akrab dan bahasa yang sifatnya halus bagi yang sifatnya masuh dalam pergaulan umum.
Ho yang artinya kau sifatnya kasar dapat dipergunakan bagi orang telah merasa khikmat dan akrab dalam persahabatan. Tidak akrab rasanya apabila yang sudah bersahabat akrab itu mempergunakan perkataan hamu yaitu anda yang sifat bahasanya halus.
Demikian halnya mempergunakan bahasa hamu maksudnya anda yang bahasa itu sifatnya halus adalah wajar dipergunakan dalm pergaulan yang masih umum. Tidak boleh mempergunakan perkataan ho karena sifat bahasanya adalah kasar.
Sifat bahasa yang kasar dapat dipergunakan bersopan/santun dalam batas – batas stratipikasi sosial yang lebih tinggi kepada stratipikasi sosial yang lebih rendah dan pada hubungan yang dirasa telah akrab pada pergaulan sehari – hari termasuk di dalamnya hubungan stratipikasi sosial yang sejajar. Itupun masih ada batas – batasannya mempergunakan bahasa yang sifatnya kasar itu yang lebih tinggi kepada yang lebih muda/rendah.
Misalnya seorang yang terhormat mempergunakan perkataan langkam yang maksudnya engkau terhadap yang lebih rendah adalah tidak pada tempatnya karena khikmat bahasa itu tidak pantas dari yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah.
Perasaan khikmat bahasa itu dalam budaya rasa adalah antara hubungan yang sejajar dan akrab. Demikian juga dari yang lebih rendah tidak boleh mempergunakan perkataan engkau trhadap yang lebih tinggi. Sebab itu berkomunikasi dengan bahasa agar terwujud sopan santun didalamnya. Baiklah mempelajari sifat bahasa dan perasaan khikmat budaya rasa keke rabatan masyarakat Batak Toba. Sudah lumrah pada suku – suku bangsa di Indonesia mempergunakan bahasa yang sifatnya halus terhadap yang dihormati dan boleh mempergunakan bahasa yang sifatnya kasar terhadap yang diayomi.
Mempergunakan kata ganti orangpun harus hati – hati apabila sifat bahasa itu tidak sesuai dengan perasaan khikmat budaya rasa kekerabatan masyarakat Batak Toba. Misalnya budaya rasa kekerabatan yang sejajar sesuai dengan kekerabatan itu tidaklah pantas mempergunakan bahasa – bahasa halus, karena itu tidak menunjukkan keakraban kekerabatan, sebab itu dalam setiap percakapan dapat dengan mempergunakan bahasa yang sifatnya kasar menunjukkan keakraban.
Demikian dalam benntuk pergaulan umum yang sudah akrab dapat dengan mempergunakan bahasa yang sifatnya kasar dan sebaliknya pergunakanlah bahasa yang sifatnya halus pada pergaulan umum yang masih dalam batas – batas kawan yang belum bersahabat, termasuk didalamnya dalam panggilan atas sebutan nama asli, nama gelar atau marga.
Perasaan khikmat budaya rasa itu dalam kekerabatan Batak Toba sulit digambarkan dengan kata – kata tetapi dapat dirasakan sebagai warisan nilai budaya yang masih disikap prilakukan oleh pemilik budaya itu.
Sifat terbuka akan terasa bagi yang sudah akrab dan menahan diri pada pergaulan yang masih umum. Misalnya seorang Batak penganut agama Kristem akan merasa tidak sopan menyebut babi apabila ada yang beragama Islam disekitarnya. Sebutan penghormatan diadakan dengan menyebut b-dua yang maksudnya babi dan b-satu yang maksudnya biang atau anjing.
Babi dua b-nya dan biang satu b-nya. Nilai yang terdapat dalm sebutan itu bahwa orang Batak selalu memilih bahasa yang halus untuk menghormati sekitarnya.
Banyak kata – kata lain yang tumbuh sedemikian rupa akibat pencarian bahasa agar orang lain tidak tersinggung. Apabila orang Batak berusaha demikian maka orang Batak pun mengharapkan yang demikian pula. Tetapi apabila perasaan demikian tidak mendapat penghormatan dari sekitarnya maka akan timbullah kekasaran terbuka yang mengakibatkan tiada batas tindakannya.
Memang adalah sangat baik mempelajari sopan santun kekerabatan sesuai dengan istilah kekerabatan itu agar terdapat tenggang rasa satu sama lain dalam wujud kerukunan suku – suku bangsa di Indonesia.
Manat unang tartuktuk nanget unang tarjollung. Maksudnya hendaklah dalam setiap pergaulan dalam bentuk hati – hati agar jangan terjerumus kepada bentuk kekerasan. Hendaklah segala tindakan dipikirkan lebih dahulu baru dilakukan agar jangan ada silang – sengketa pada hubungan sosial budaya antara sesama manusia. Sebab itu hubungan sopan – santun pada istilah ke kekerabatan berikut ini hendaklah dipahami dalam – dalam sebagai dasar bersosial budaya dalam hubungan kekerabatan masyarakat Batak Toba adalah menjadi titik tolak berkomunikasi untuk sesamanya termasuk orang lain agar ada saling pengertian dalam hubungan suku – suku bangsa di Indonesia.
Karena tak kenal maka tak saying. Dengan mempergunakan budaya rasa kekerabatan Batak Toba akan dapatlah dirasakan perasaan khikmat apa yang terpatri pada hubungan kekerabatan itu dengan sikap yang dilakukan.

Continue lendo >>

Sopan Santun Dalam Memakai Bahasa Pada Orang Batak Toba


Horas bah tegur seseorang terhadap seseorang Batak Toba akan merasa diejek dengan selam itu, karena kesalahan mempergunakan bahasa. Yang baik adalah dengan ucapan horas ba yang maksudnya selamat sejahtera kawan.
Membuat – buat tekanan bahasa pada pertemuan yang tidak tempatnya dengan mencontoh – contoh dialek Batak, juga dianggap merupakan ejekan. Sebab itu pakailah tekanan bahasa yang wajar, tidak dibuat – buat.
Ada satu keunikan mempergunakan bahasa itu untuk berkomunikasi.
Misalnya : bahasa yang sifatnya kasar adalah menunjukan persahabatan bagi yang sudah akrab dan bahasa yang sifatnya halus bagi yang sifatnya masuh dalam pergaulan umum.
Ho yang artinya kau sifatnya kasar dapat dipergunakan bagi orang telah merasa khikmat dan akrab dalam persahabatan. Tidak akrab rasanya apabila yang sudah bersahabat akrab itu mempergunakan perkataan hamu yaitu anda yang sifat bahasanya halus.
Demikian halnya mempergunakan bahasa hamu maksudnya anda yang bahasa itu sifatnya halus adalah wajar dipergunakan dalm pergaulan yang masih umum. Tidak boleh mempergunakan perkataan ho karena sifat bahasanya adalah kasar.
Sifat bahasa yang kasar dapat dipergunakan bersopan/santun dalam batas – batas stratipikasi sosial yang lebih tinggi kepada stratipikasi sosial yang lebih rendah dan pada hubungan yang dirasa telah akrab pada pergaulan sehari – hari termasuk di dalamnya hubungan stratipikasi sosial yang sejajar. Itupun masih ada batas – batasannya mempergunakan bahasa yang sifatnya kasar itu yang lebih tinggi kepada yang lebih muda/rendah.
Misalnya seorang yang terhormat mempergunakan perkataan langkam yang maksudnya engkau terhadap yang lebih rendah adalah tidak pada tempatnya karena khikmat bahasa itu tidak pantas dari yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah.
Perasaan khikmat bahasa itu dalam budaya rasa adalah antara hubungan yang sejajar dan akrab. Demikian juga dari yang lebih rendah tidak boleh mempergunakan perkataan engkau trhadap yang lebih tinggi. Sebab itu berkomunikasi dengan bahasa agar terwujud sopan santun didalamnya. Baiklah mempelajari sifat bahasa dan perasaan khikmat budaya rasa keke rabatan masyarakat Batak Toba. Sudah lumrah pada suku – suku bangsa di Indonesia mempergunakan bahasa yang sifatnya halus terhadap yang dihormati dan boleh mempergunakan bahasa yang sifatnya kasar terhadap yang diayomi.
Mempergunakan kata ganti orangpun harus hati – hati apabila sifat bahasa itu tidak sesuai dengan perasaan khikmat budaya rasa kekerabatan masyarakat Batak Toba. Misalnya budaya rasa kekerabatan yang sejajar sesuai dengan kekerabatan itu tidaklah pantas mempergunakan bahasa – bahasa halus, karena itu tidak menunjukkan keakraban kekerabatan, sebab itu dalam setiap percakapan dapat dengan mempergunakan bahasa yang sifatnya kasar menunjukkan keakraban.
Demikian dalam benntuk pergaulan umum yang sudah akrab dapat dengan mempergunakan bahasa yang sifatnya kasar dan sebaliknya pergunakanlah bahasa yang sifatnya halus pada pergaulan umum yang masih dalam batas – batas kawan yang belum bersahabat, termasuk didalamnya dalam panggilan atas sebutan nama asli, nama gelar atau marga.
Perasaan khikmat budaya rasa itu dalam kekerabatan Batak Toba sulit digambarkan dengan kata – kata tetapi dapat dirasakan sebagai warisan nilai budaya yang masih disikap prilakukan oleh pemilik budaya itu.
Sifat terbuka akan terasa bagi yang sudah akrab dan menahan diri pada pergaulan yang masih umum. Misalnya seorang Batak penganut agama Kristem akan merasa tidak sopan menyebut babi apabila ada yang beragama Islam disekitarnya. Sebutan penghormatan diadakan dengan menyebut b-dua yang maksudnya babi dan b-satu yang maksudnya biang atau anjing.
Babi dua b-nya dan biang satu b-nya. Nilai yang terdapat dalm sebutan itu bahwa orang Batak selalu memilih bahasa yang halus untuk menghormati sekitarnya.
Banyak kata – kata lain yang tumbuh sedemikian rupa akibat pencarian bahasa agar orang lain tidak tersinggung. Apabila orang Batak berusaha demikian maka orang Batak pun mengharapkan yang demikian pula. Tetapi apabila perasaan demikian tidak mendapat penghormatan dari sekitarnya maka akan timbullah kekasaran terbuka yang mengakibatkan tiada batas tindakannya.
Memang adalah sangat baik mempelajari sopan santun kekerabatan sesuai dengan istilah kekerabatan itu agar terdapat tenggang rasa satu sama lain dalam wujud kerukunan suku – suku bangsa di Indonesia.
Manat unang tartuktuk nanget unang tarjollung. Maksudnya hendaklah dalam setiap pergaulan dalam bentuk hati – hati agar jangan terjerumus kepada bentuk kekerasan. Hendaklah segala tindakan dipikirkan lebih dahulu baru dilakukan agar jangan ada silang – sengketa pada hubungan sosial budaya antara sesama manusia. Sebab itu hubungan sopan – santun pada istilah ke kekerabatan berikut ini hendaklah dipahami dalam – dalam sebagai dasar bersosial budaya dalam hubungan kekerabatan masyarakat Batak Toba adalah menjadi titik tolak berkomunikasi untuk sesamanya termasuk orang lain agar ada saling pengertian dalam hubungan suku – suku bangsa di Indonesia.
Karena tak kenal maka tak saying. Dengan mempergunakan budaya rasa kekerabatan Batak Toba akan dapatlah dirasakan perasaan khikmat apa yang terpatri pada hubungan kekerabatan itu dengan sikap yang dilakukan.

Continue lendo >>

Bagaimanan Sopan Santun Dalam Kehidupan Orang Batak

Menyebut dan memanggil nama asli seseorang masyarakat Batak Toba hanya terbatas dari yang mengayomi kepada yang diayomi dan kepada anak – anak yang belum berkeluarga. Menyebut dan memanggil nama asli seseorang yang sudah berkeluarga tidak mengandung sopan santun dan orang yang mempunnyai nama tersebut akan tersinggung dan kelaurganya merasa terhina karena mereka masih dianggap anak – anak. Sesame anak – anaklah yang diperkenankan memanggil nama asli satu sama lain.
Itupun harus dilihat berdasarkan tingkat kelahiran kekerabatan.
Misalnya seseorang anak namanya si Togap dan seorang anak lain namanya si Togar. Apabila si Togap dalam keluarga itu pada tingkat kelahiran adalah adik dari ayah si Tagor maka si Togar dikatakan tidak sopan apabila Si Tagor berani menyebut atau memanggil nama si Togap. Untuk memanggil si Togap oleh si Tagor harus memakai istilah kekerabatan dengan amang uda. Si Togar dapat menyebut dan memanggil nama si Togar, karena tingkat kelahiran si Togap lebih tua atau lebih tinggi dari si Togar, walaupun ,isalnya si Tagor lebih tua dari si Togap. Tingkat kelahiran atau strasifikasi sosiallah yang menentukan siapa – siapa yang dapat menyebut dan memanggil nama asli seseorang. Itulah sebabnya memberi nama dalam keluarga jangan ada yang sama pada keluarga itu sampai melingkupi keluarga luas.
Seseorang yang sudah berkeluarga sebelum mempunyai anak ia beri nama gelar dari anak abangnya. Misalanya si Togap tadi apabila sudah kawin ia diberi nama gelar dari nama adik si Togar, kita katakana saja si Ulina. Maka nama gelar si Togap berobah menjadi Amani Ulina.
Gelar itulah yang dipergunakan untuk memanggil si Togap, baik oleh ayah si Togap maupun oleh abang – abangnya. Tidak wajar lagi abang – abang atau ayah – ibu si Togap memanggil nama Togap, cukuplah dengan Amani Ulina saja, walupun abang – abang dan orang tuanya masih boleh menyebut dan memanggil nama aslilnya.
Jika abang – abang atau kakak – kakak dan ayah ibu si Togap masih memanggil nama Togap sebagaimana panggilan pada masa kanak – kanak., isteri si Togap akan marah dan tersinggung dengan perasaan bahwa karena suaminya itu masih anak – anak.
Untuk memangngil Amani Ulina oleh anak – anak abang atau anak kakaknya tidak boleh dengan gelar nama itu, cukup dengan istilah kekerabatan itu yaitu amanguda oleh anak abangnya dan tulang oleh anak kakaknya.
Mungkin amanguda dan tulanng mereka banyak, amanguda dan tulangn mana yang dimaksud. Untuk memberi informasi boleh menyebut nama amanguda-nya itu dengan sebutan amanguda. Si Ulina tidak boleh menyebut dengan amanguda Amani Ulina, apalagi untuk memanggil nama gelar itu adalah sangat pantang.
Termasuk isteri Amani Ulina tidak wajar memanggil suaminya dengan Amani Ulina tetapi harus dengan Amang ni si Ulina atau dengan ale. Demikian juga Amani Ulina tidak wajar memanggil isterinya dengan Nai Ulina, yang wajar untuk memanggil isterinya adalah dengan Inang ni si Ulina atau ale juga untuk sesame suami isteri memanggil dengan ale. Abang – abang dan ayah Amani Ulina tidak wajar pula menyebutkan nama gelar Nai Ulina, tetapi harus menyebut dengan nasida ni Amani Ulina maksudnya isteri Amani Ulina. Demikian pula Amani Ulina dan Nai Ulina yang boleh menyebut nama gelar abang dan kakak iparnya tidak boleh menyebut nama gelar abang dan kakak iparnya tidak boleh menyebut Aman Togar atau Nan Togar tetapi harus dengan dahahang doli amangn si Togar oleh Nai Ulina. Terhadap Nan Togar mereka menyebut angkang boru si Togar.
Demikianlah sebutan dan panggilan didalam keluarga sampai kelaurga luas dan panggilan semarga bergantung pada stratipikasi sosial keluarga itu.
Apabila Amani Ulina sudah mempunyai anak dan diberi namanya si Maringan maka nama gelarnya berobah menajadi Amani Maringan dan isterinya menajadi Nai Maringan. Jika Amani Ulina dan Nai Ulina serasi memakai nama gelar anak abangnya itu boleh saja terus memakainya tidak memakai nama anaknya sendiri. Tetapi adalah lebih baik apabila memakai nama gelar anaknya sendiri.
Nama gelar ini diambil dari anak sulung atau putrid sulung tiap keluarga kecuali oleh yang memakai seperti Amani Ulina dapat mengambil dari anak kedua dan seterusnya. Pengaruh pemberian nama gelar ini oleh satu keluarga mengobah pula dengan nama gelar vertikal keatas. Jika ayah Togar anak sulung dan si Togar pula anak sulung juga ayah si Togar mempunyai gelar Aman Togar dan ibunya Nai Togar maka ayah Aman Togar berobah menjadi Ompu Togar Doli dan ibu dari Aman Togar menjadi Ompu Togar Boru.
Nama gelar ini adalah untuk panggilan umum sebagai ganti panggilan nama asli. Sudah kita katakan bahwa tidak sopan memanggil atau menyebut nama seseorang yang telah berkeluarga kalau tidak pada tempatnya. Dalam pemanggilan nama gelar seseorang ini adapula variasinya dengan ketentuan, apabila yang menyebut atau yang memanggil itu lebih tinggi stratipikasi sosialnya, nama gelar itu boleh langsung disebut. Dan apabila ia yang menyebut memanggil itu terdapat budaya rasa yang harus sungkan kepada yang akan disebut maka untuk memanggilnya harus didahului dengan istilah kekerabatan, baru disambung dengan si dan seterusnya dengan nama yang menjadi gelar. Misalnya untuk Nai Maringan oleh haha doli harus menyebutnya nasida inanta si Maringan dan sebaliknya Nai Maringan mau menyebut nama haha dolinya tidak boleh dengan Amani Tagor harus dengan nasida amanta si Tagor, yang sejajar stratipikasi sosialnya boleh juga menyebut nama gelar, tetapi tidak enak rasanya dalam budaya rasa sebab itu untuk memperluasnya harus didahului istilah kekerabatan pakai ni dan seterusnya si baru nama gelar yang dipakai.
Misalnya isteri terhadap suami dan sebaliknya seperti Nai Maringan terhadap Amani Maringan adalah lebih baik menyebut amang ni si Maringan dan sebaliknya Amani Maringan terhadap Nai Maringan harus atau lebik baik dengan inang ni si Maringan. Sesame saudara demikian untuk menyebut atau memanggilnya kecuali dalam budaya rasa terdapat ada rasa sungkan karena hubungan didalam kekerabatan, kelak berikut ini akan dijelaskan.
Dalam menyebut – nyebut nama asli dan nama gelar atau memanggil adalah sensitive bagi masyarakat Batak Toba, apabila tidak pada tempatnya. Bahkan anak – anak akan berkelahi sungguh – sungguh apabila nama asli atau nama gelar ayahnya disebut – sebut.
Jika demikian untuk apa nama itu diberikan kepada seseorang kalau tidak untuk disebut dan untuk dipanggil. Inilah budaya rasa masyarakat Batak Toba, bahwa pantang menyebut nama yang sudah digolongkan terhormat, nama asli itu sudah dianggap sacra bagian pribadi dan yang mempunyai “ Mana ”
Adalah pantang menyebut – nyebut nama yang telah dianggap suci. Nama pribadi, nama tempat yang telah dianggap suci itu tidak boleh disebut harus diganti dengan sebutan nama gelar, gelar namartua dan ompunta.
Misalnya adalah tabu menyebut – nyebut Debata yaitu Tuhan Allah. Untuk menyebut Debata diganti dengan menyebut Ompuntai, pada hal ompu adalah nenek, ompunta artinya nenek kita, tetapi Ompuntai maksudnya adalah Debata atau Allah. Nama asli itu adalah untuk identitas bukan untuk disebut.
Boleh juga nama asli itu disebut tetapi pada tempatnya. Untuk mencegah kekeliruan penyebutan nama asli seseorang, karena penyebutannya misalnya tidak pada tempatnya maka masyarakat Batak Toba memperkenalkan dirinya hanya dengan huruf permulaan nama aslinya baru dilanjutkan dengan marga, misalnya Dj. Gultom yang untuk penulis kepanjangannya Djalaut Gultom. Tak dapat diingkari bahwa dalam pergaulan sehari – hari ada saja pertemuan atau perjumpaan masyarakat Batak Toba dengan suku – suku lain di Indonesia. Dari pada menimbulkan sakit hati dari kawan bertemu atau sahabat atau orang lain yang menyebut nama aslinya, karena kawan itu belum memahami arti dan khikmat nama asli berdasarkan budaya Batak Toba dari pada sakit hati lebih baiklah mendekkan nama aslinya dan melamjutkan dengan marga untuk memperkenalkan dirinya.
Inilah sebabnya masyarakat Batak Toba memperkenalkan diri dengan permulaan nama dan marganya. Sering didengar apabila mayarakat Batak Toba memperkenalkan dirinya dengan cara itu, ada satu tuduhan bahwa Batak Toba itu menonjol – nonjolkan puaknya dan bersifat kedaerahan. Bukan demikian halnya. Memperkenalkan diri dengan permulaan nama dan marga itu adalah disebabkan bahwa penyebutan nama asli pada masyarakat Batak Toba yang tak pada tempatnya dianggap suatu penghinaan.
Kedua, memperkenalkan diri dengan marga, adalah satu usaha untuk mengetahui dimana keberadaan seseorang pada perjumpaan itu sesuai dengan falsafah Dalihan Na Tolu. Memperkenalkan diri dengan marga adalah merupakan titik tolak untuk berkomunikasi berdasarkan Dalihan Na Tolu.
Menyebut dan memanggil seseorang dengan marganya adalah merupakan sikap – sikap sopan yang dianggap hormat bagi masyarakat Batak Toba. Jika ingin bersahabat dengan masyarakat batak Toba panggillah ia dengan marganya tidak dengan nama aslinya. Apabila seseorang masyarakat Batak Toba dipanggil dengan nama aslinya bukan dengan marganya, kalaupun ia menyahut dapat dipastikan bahwa ada rasa tidak enak terselip dalam hatinya. Apabila pemanggilan nama asli itu terus berkelanjutan ia akan meminta agar dipanggil dengan marganya.
Jika panggilan itu masih terus berdasarkan nama aslinya ia akan marah dan mungkin akan mengamuk, karena ia akan merasa dihina masih anak – anak lagi.
Memang aneh juga prihal panggilan diri masyarakat Batak Toba ini. Apabila panggilan atau sebutan sesama semarga, menyebut dan memanggil mereka dengan marganya pada masyarakat Batak Toba adalah tidak enak atau tidak wajar. Saya sendiri bermarga Gultom memanggil orang lain dengan Gultom, maka perasaan yang saya panggil dengan Gultom itu tidak enak. Dia akan bertanya apa rupanya marga saya.
Apabila saya sebutkan bahwa saya juga Gultom, dia akan menyindir apakah saya tidak tau adat sopan santun. Untuk memanggil sesama semarga tidak enak memanggilnya dengan marganya, karena itu adalah pertanda perasaan khikmat agak jauh dalam budaya rasa kekerabatan panggilan sesama semarga adalah dengan istilah kekerabatan atau dengan menyebut nama- gelar yaitu Amani Polan misalnya.
Memanggil seseorang dengan marganya, atau menannya seseorang dengan marganya atau mencari seseorang dengan menyebut marganya, sasaran belum terarah betul. Seseorang mencari saya dan menyebutnya pak Gultom. Apabila yang ditanya tidak mengenal saya maka ia akan bertanya : Gultom banyak pak, Gultom mana yang bapak maksud. Apabila yang mencari itu bukan Batak, iapun akan heran pula, berapa rupanya Gultom, karena selama ini ia menganggap Gultom itu adalah nama yang bersangkutan. Untuk mengetahui identitas seseorang Batak dengan identitas marga, lengkapilah identitas itu dengan nama tempat, pekerjaan, asalnya dan nama aslilnya. Apabila kita mencari seseorang dengan marganya, yang memberi informasi akan bertanya :
Yang dari mana pak ? O… yang tinggal di Jalan Turi, yang di tanya mungkin belum jelas, maka ia akan bertanya : apa pekerjaan pak ? yang kerja di pendidikan jalan Cik di Tiro itu. Masih belum jelas bagi yang memberi informasi. Dari mana asalnya pak ? Dari Ajibata, O… bapak tua si Ben, santabi pak namanya Djalaut Gultom. Ya, ya, ya memang itu namanya.
Jika yang itu adalah amang tuaku sekarang mereka tidak disini karena berpergian. Rumahnya di Jalan Turi 38 Medan Pak. Maafkan saya Pak, yang saya tau amang tua itu masih di Tarutung rupanya sudah pindah ke Medan, dari sinilah bapak pak akan bapak jumpai rumahnya nanti. Terima kasih.
Penyebutan nama asli itu diperkenankan asalkan pada tempatnya seperti dialog tadi. Dan menyebutnya pun harus diketahui perkatan santabi yang artinya maaf baru menyebut nama asli itu oleh yang merasa sungkan kepada yang akan disebut. Tetapi bagi yang mengayomi artinya stratipikasi sosialnya lebih tinggi dapat saja menyebutnya tanpa didahulukan perkataan santabi.
Seseorang laki – laki, berjumpa dengan laki – laki lain semarga dengan ibu orang pertama tadi, ia akan memanggil laki – laki lain itu dengan tulang, tidak menjadi soal apakah laki – laki lain itu masih anak – anak atau sudah ujur.
Sebaliknya laki – laki lain itu akan membalas dengan panggilan amang boru kepada seseorang itu bukan dengan panggilan bere. Jadi panggilan tulang dan amang boru dalam hal ini adalah panggilan kehormatan.
Jika dilihat dari sistem kekerabatan apabila seseorang memanggil yang lain dengan tulang mak balasan panggilan adalah bere yaitu panggilan kemanakan kepada paman dan balasan panggilan bere dari paman kepada kemanakan. Hal ini baru terasa enak apabila keluarga itu masih dekat. Dalam hal yang bersifat umum, panggilan tulang hendaklah dibalas dengan panggilan amang boru.
Kesimpulan yang dapat diambil dalam hal menyebut, memanggil nama asli nama gelar istilah kekerabatan, bergantung kepada stratipikasi sosialnya dan jauh dekatnya budaya rasa atau perasaan khikmat kekerabatan yang bersangkutan. Amksudnya apabila dirasa hubungan itu akrab dan bersahabat boleh juga menyebut nama aslinya dan apabila menyangkut budaya rasa dan perasaan khikmat, dalam batas – batas umum sebaliknya ia disebut dan dipanggil dengan marganya.

Continue lendo >>

Budaya Rasa, Perasaan Khikmat dan Sopan Santun Kekerabatan Masyarakat Batak Toba

Horas adalah salam masyarakat Batak Toba tehadap sesamanya dan orang lain serta ungkapan pengharapan hati kepada Tuhan Yang Maha Esa, agar selamat sejahtera, rohani dan jasmani. Salam dan ungkapan Horas ini adalah budaya rasa, perasaan hikmat dan sopan santun masyarakat Batak Toba. Dari pada asal mula perkatan horas ini baiklah kita coba menganalisa dari ungkapan di bawah ini.
Horas Ma Hita mandingin pir ma tondi matogu.
Terjemahan:
Selamatlah kita dalam kesejukan, keraslah roh dalam kekukuhan. Maksudnya selamat sejahteralah jasmani dan kukuh kuatlah rohani.
Apabila dibandingkan perkataan horas dengan perkataan pir maka perkataan horas itu berasal dari perkataan koras yang artinya dalam bahasa Indonesia adalah keras serupa artinya dengan perkataan pir yang artinya juga adalah keras, kuat atau kukuh dalam bahasa Indonesia.
Kesimpulan perkataan horas itu berasal dari perkataan koras yang artinya keras, kukuh dan kuat. Perobahan keras menjadi horas adalah kebiasaan Batak Toba yang membunyikan k dengan h karena pada Batak Toba huruf k itu dibunyikan dengan h.
Sopan santun kekerabatan masyarakat Batak Toba kita mulai dengan salam horas, memang demikianlah hendaknya, karena sikap perilaku sopan santun tersebut berpengharapan agar selalu sehat sejahtera jasmani dan rohani sesuai dengan pengharapan pandangan hidup berdasarkan budaya rasa Dalihan Na Tolu.

Continue lendo >>

Istilah dan Panggilan Partuturan Kekerabatan Batak Toba

Untuk mempermudah pemahaman istilah kekerabatan dan panggilan kekerabatan masyarakat Batak Toba adalah lebih baik apabila kita membuat contoh dan di mulai dari keluarga Batih atau keluarga inti. Misalnya Amani Ucok dengan isterinya Nai Ucok mempunyai enam anak, tiga laki – laki dan tiga perempuan. Keenam bersaudara adalah seayah – seibu disebut saama – saina.
Anak – anak memanggil ayahnya amang dan memanggil ibunya inang. Sesama saudara laki – laki dinamai marhaha – maranggi. Yang abang memanggil adiknya anggi atau anggia dan adiknya memanggil abangnya hahang atau dahahang atau angkang.

Sesama saudara perempuan dinamai marpariban. Yang kakak memanggil adiknya anggi dan adiknya memanggil kakaknya angkang. Sesama saudara laki – laki terhadap sesame saudara perempuan dinamai mariboto atai marito dengan panggilan timbal balik satu sama lain adalah ito.
Hubungan putra-putri Amani Ucok/Nai Ucok terhadap ayah-ibu Amani Ucok disebut marompang suhut dengan panggilan terhadap kakek laki – laki dengan ompung suhut doli dan terhadap nenek perempuan dengan ompung suhut boru, atau cukup dengan panggilan ompung oli terhadap kakek laki – laki dan ompung boru terhadap nenek perempuan. Dan seterusnya vertikal ke atas terhadap nenek ayah dan nenek dari nenek dan seterusnya cukup dengan panggilan ompung. Sebaliknya ayah ibu dari Amani Ucok terhadap putra – putri Amani Ucok – Nai Ucok di sebut Marpahompu dengan panggilan pahompu atau boleh juga dengan panggilan ompung juga. Jadi dapat dengan panggilan timbale balik yaitu ompung.
Hubungan putra – putri dengan kakek ayah disebut marama – mangulahi dengan panggilan satu sama lain timbal balik dengan istilah ompung.
Hubungan putra – putri Amani Ucok – Nai Ucok terhadap abang laki – laki Amani Ucok disebut maramang tua dengan panggilan amang tua dan terhadap isteri amang tua disebut marinang tua dengan panggilan Inang tua.
Sebaliknya hubungan amang tua – inang tua terhadap putra – putri amani ucok nai ucok disebut maranak dengan panggilan anaha terhadap putra dan boru putri. Hubungan putra – putri Amani Ucok – Nai Ucok terhadap adik perempuan Nai Ucok disebut marinanguda-pariban dengan panggilan inanguda dan terhadap suaminya disebut maramanguda-pariban dengan panggilan amanguda.
Sebaliknya inanguda-amanguda pariban terhadap putra-putri Amani Ucok-Nai Ucok disebut maranak ni paribu terhadap putra dengan panggilan anaha dan marboru ni pariban terhadap putri dengan panggilan boru.
Hubungan putra-putri Amani Ucok terhadap orang tua Nai Ucok disebut Marompungabao dengan panggilan ompungbao doli kepada laki – laki dan ompungbao boru terhadap perempuan atau cukup dengan panggilan ompung saja. Hubungan Amani Ucok terhadap isteri abangnya disebut marangkang boru dengan panggilan angkang boru atau angkang saja.
Sebaliknya hubungan isteri abang terhadap Amani Ucok di sebut maranggi doli dengan panggilan anggi atau anggia. Hubungan Amani Ucok terhadap isteri adiknya disebut maranggi boru, dengan panggilan nasida anggi boru atau dengan inang atau hamu inang. Sebaliknya hubungan isteri adik terhadap Amani Ucok disebut marhaha doli atau mardahahangdoli dengan panggilan nasida hahadoli, nasida dahahangdoli atau dengan amang atau hamu amang. Dengan demikian halnya akan diterangkan kelak pada sopan – santun kekerabatan masyarakat Batak Toba.
Hubungan Amani Ucok terhadap suami – suami saudara – saudara perempuan disebut marlae-boru dengan panggilan lae. Sebaliknya suami – suami saudara – saudara perempuan Amani Ucok terhadap Amani Ucok disebut marlae tunggane dengan panggilan lae saja atau tunggane atau hamu lae atau hamu tunggane.
Hubungan Amani Ucok terhadap saudara – saudara perempuan Nai Ucok disebut marpariban dengan panggilan angkang terhadap kakak Nai Ucok dan anggi terhadap adik Nai Ucok. Sebaliknya hubungan kakak Nai Ucok terhadap Amani Ucok disebut maranggi pariban dengan panggilan anggi dan hubungan adik perempuan Nai Ucok terhadap Amani Ucok disebut marangkang pariban dengan panggilan angkang.
Hubungan Amani Ucok terhadap isteri saudara – saudara laki – laki Nai Ucok disebut marinangbao dengan panggilan nasida inang bao atau hamu inangbao atau inang bao atau nasida inanta. Sebaliknya hubungan inangbao terhadap Amani Ucok disebut maramangbao dengan panggilan nasida amang bao atau hamu anang bao atau amang bao atau amang atau nasida amanta.
Hubungan Amani Ucok terhadap suami – suami dari saudara – saudara perempuan Nai Ucok disebut marpariban dengan pangilan angkang terhadap suami kakak Nai Ucok dan anggi terhadap suami adik perempuan Nai Ucok. Sebaliknya suami kakak Nai Ucok memanggil anggi terhadap Amani Ucok dan angkang oleh suami adik perempuan Nai Ucok.
Hubungan Nai Ucok terhadap terhadap abang laki – laki Amani Ucok disebut marhaha doli atau mardahahangdoli dengan panggilan nasida haha doli atau nasida dahahang doli atau cukup dengan amang atau hamu amang atau nasida amanta dahahang doli. Sebaliknya hubungan abang Amani Ucok terhadap Nai Ucok disebut maranggi boru dengan panggilan nasida anggi boru atau cukup dengan inang atau hamu inang atau nasida inanta anggi boru. Hubungan Nai Ucok terhadap isteri abang Amani Ucok disebut marangkang boru dengan panggilang angkang boru atau angkang dan boleh pula dengan inang. Sebaliknya isteri abang Amani Ucok terhadap Nai Ucok disebut maranggi bukan maranggi boru dengan panggilan anggi.
Hubungan Nai Ucok terhadap adik laki – laki Amani Ucok disebut maranggi bukan maranggi doli dengan panggilan anggi. Sebaliknya hubungan adik laki – laki Amani Ucok terhadap Nai Ucok disebut marangkang boru dengan panggilan angkang. Hubungan Nai Ucok terhadap isteri adik laki – laki Amani Ucok disebut maranggi bukan maranggi boru dengan panggilan anggi. Sebaliknya hubungan isteri adik Amani Ucok terhadap Nai Ucok disebut marangkang boru dengan panggilan angkang atau dengan inang.
Nai Ucok isteri Amani Ucok beserta isteri – isteri saudara Amani Ucok disebut paniaran keluarga Amani Ucok dengan panggilan kumpulan untuk itu oleh pihak lain adalah paniaran keluarga Amani Ucok.
Sebagai contoh, semua wanita yang bersuamikan marga Gultom disebut atau dipanggil paniaran ni Gultom.
Hubungan Ni Ucok terhadap saudara perempuan Amani Ucok disebut mareda dengan panggilan eda dan sebaliknya demikian pula timbal balik atau satu sama lain. Hubungan Nai Ucok terhadap suami saudara perempuan Amani Ucok disebut maramangbao dengan panggilan baoniba atau amangbao, atau amang. Sebaliknya hubungan suami saudara perempuan Amani Ucok terhadap Nai Ucok disebut marinangbao dengan panggilan baonami atau inang bao atau inang. Hubungan perempuan dengan isteri saudara laki – laki disebut mareda dengan panggilan eda timbal balik satu sama lain.

Istilah bao dapat diganti dengan istilah besan. Jadi maramang bao serupa dengan maramang besan atau marbao serupa dengan marbesan.

Hubungan putra Amani Ucok terhadap putra dari abangnya adalah marampara dengan panggilan umum ampara dan hubungan yang lebih khusus mereka disebut marhaha maranggi dengan panggilan yang lebih khusus anggia atau anggi oleh putra Amani Ucok terhadap putra abangnya dan anggia oleh putra abangnya terhadap putra Amani Ucok.

Demikian pula hubungan putra Amani Ucok terhadap putra terhadap putra adiknya disebut marampara dengan panggilan umum amapara. Dalam hubugan yang lebih khusus mereka disebut marhaha maranggi dengan panggilan yang lebih khusus anggi oleh putra Amani Ucok terhadap putra adiknya dan sebaliknya panggilan dahahang atau hahang oleh putra adik terhadap putra Amani Ucok.

Hubungan putra Amani Ucok terhadap putri abang dan adik disebut maribo atao marito dengan panggilan ito satu sama lain timbal balik. Jelasnya hubungan putra-putri sesama saudara laki – laki disebut mariboto atau marito dengan panggilan ito tadi.

Hubungan putri Amani Ucok terhadap putri abang-adiknya disebut marpariban dengan panggilan angkang dan anggi atau anggia sesuai dengan keadaan tingkat kedudukan orang tua mereka, siapa yang anbangan dan siapa yang adikan. Jelasnya hubungan anak – anak putri dari sesame saudara laki – laki disebut marpariban dengan panggilan angkang dan anggia dari keluarga senenek itu. Malahan hubungan putri semargapun disebut juga marpariban dengan panggilan tadi. Demikian pula dengan putra atau anak laki – laki semarga disebut pula marhaha maranggi atau mardongan sabutuhan dengan panggilan yang tadi pula sesuai dengan tingkat kedudukan marga mereka masing – masing mana abangan dan adikan.

Hubungan anak laki – laki Amani Ucok dengan anak laki – laki dari saudara perempuan Nai Ucok adalah marlae dengan panggilan satu sama lain dengan panggilan lae dengan ketentuan anak Amani Ucok laki – laki adalah lae hula – hula ( lae tunggane ) dari anak laki – laki saudara perempuan si Amani Ucok dan sering pula disebut bahwa putra dari Amani Ucok tadi adalah parrajaon dari putri saudara perempuan Amani Ucok.
Sebaliknya putra saudara perempuan Amani Ucok terhadap putra Amani Ucok adalah marlae boru atau sering disebut parboruon. Hubungan putra Amani Ucok dengan putrid saudara perempuan Amani Ucok adalah marito dengan panggilan ito satu sama lain.
Hubungan putri Amani Ucok terhadap putra saudara perempuan Amani Ucok adalah marpariban dengan panggilan pariban satu sama lain dengan hubungan yang lebih khusus putri Amani Ucok maranak ni amboru terhadap anak laki – laki saudara perempuan dari Amani Ucok adalah marboru ni tulang terhadap putri Amani Ucok dengan panggilan boru ni tulang atau pariban.
Hubungan putri Amni Ucok dengan putrid saudara perempuan Amani Ucok adalah mareda dengan panggilan eda satu sama lain. Dari penjelasan – penjelasan di atas hubungan kekerabatan anak – anak Amani Ucok dengan isterinya Nai Ucok dengan anak – anak saudara – saudara Amani Ucok baik saudara perempuan terutama anak saudara laki – laki adalah satu nenek dengan istilah Saompu.
Hubungan putra Amani Ucok dengan putra saudara laki – laki Nai Ucok adalah marlae dengan panggilan lae, dan dalam hubungan yang lebih khusus putra Amani Ucok marlae tunggane atau marlae hula – hula terhadap putra saudara laki – laki Nai Ucok dan sebaliknya putra saudara laki – laki Nai Ucok terhadap putra Amani Ucok terhadap putra Amani Ucok adalah marlae boru atau parboruan atau pamoruon.
Hubungan putra Amani Ucok dengan putri saudara laki – laki Nai Ucok adalah marpariban dengan panggilan pariban dan di dalam hubungan yang lebih khusus adalah marboru ni tulang dan siperempuan maranakni amboru terhadap anak laki – laki Amani Ucok dengan panggilan anak ni namboru.
Hubungan putri Amani Ucok dengan putra saudara laki – laki Nai Ucok adalah mariboto atau marito dengan panggilan ito timbale balik.
Hubungan putri Amani Ucok dengan putri saudara laki – laki Nai Ucok adalah mareda dengan panggilan eda timbale balik. Sengaja hubungan ini dibuat lebih terperinci supaya pada tulisan berikutnya lebih mudah untuk memahaminya.
Bagaimana kedudukan Amani Ucok menjadi hula – hula dari saudaranya perempuan dan menjadi boru dari saudara laki – laki isterinya.
Demikianlah hubungan anak laki – laki dari Amani Ucok menjadi Lae tunggane dari putra anak saudara perempuan Amani Ucok dan menjadi lae boru terhadap putra saudara laki – laki isteri Amani Ucok.
Dengan penjelasan ini bagaimana hubungan anak – anak saudara perempuan Amani Ucok terhadap saudara laki – laki Nai Ucok ?. Anak dari saudara perempuan Amani Ucok terhadap saudara laki – laki Nai Ucok adalah martulang mangihut atau martulang rorobot artinya tutur berpaman mengikuti anak – anak pamannya yang berpaman kepada saudara laki – laki Nai Ucok dengan panggilan tulang juga.
Bagaimana hubungan anak – anak Amani Ucok terhadap anak – anak saudara laki – laki Nai Ucok demikian pulalah hubungan anak – anak saudara – saudara Amanni Ucok terhadap anak – anak saudara laki – laki Nai Ucok kecuali anak saudara perempuan Amani Ucok demikian timbale balik.
Hubungan Amani Ucok dengan ayahnya adalah maramang dengan panggilan amang dan terhadap ibunya marinang dengan panggilan inang. Sebaliknya ayah – ibunya dengan hubungan maranak dengan panggilan anaha atau dengan namanya. Hubungan Amani Ucok dengan ayah dari bapaknya dan ibu dari bapaknya adalah marompung dengan panggilan ompung dan sebaliknya ompungnya marpahompu kepadanya dengan panggilan pahompu. Hubungan Amani Ucok dengan kakek dari bapaknya adalah marama mangulahi dengan panggilan ompung juga. Demikian dengan timbale balik dari ompung ke cucunya dengan istilah maranak mangulahi dengan panggilan ompung atau pahompu.
Hubungan Nai Ucok terhadap orang tua Amani Ucok adalah marmsimatua dan dengan hubungan yang lebih khusus adalah marsimatua doli terhadap mertua laki – laki dengan panggilan amang simatua atau amang saja dan marsimatua boru terhadapa mertua perempuan dengan panggilan inang simatua atau inang saja atau namboru. Sebaliknya hubungan orang tua Amani Ucok terhadap Nai Ucok adalah marparumaen atau bermenantu dengan panggilan inang parumaen oleh mertua laki – laki dan anggi oleh mertua perempuan.
Hhubungan Nai Ucok terhadap kakek Amani Ucok atau kakek ayah Amani Ucok adalah serupa mengikuti suaminya Amani Ucok dan sebaliknya.
Demikianlah sistem kekerabatan suku Batak hanya 4 generasi vertikal ke atas.
Hubungan turunan seayah – seibu dinamai saama, hubungan turunan satu ayah dengan berbeda ibu dinamai saama pulik ina artinya satu ayah lain ibu. Hubungan turunan satu kakek dinamai saompu dan hubungan turunan kakek dari ayah beserta saudara – saudaranya adalah saompu parsadaan.
Hubungan Amani Ucok dengan orang tua Nai Ucok adalah marsimatua dengan hubungan yang lebih khusus terhadap mertua laki – laki adalah marsim,atua doli dengan panggilan amang simatua atau amang saja dan terhadap mertua perempuan adalah marsimatua boru dengan panggilan inang simatua atau inang saja.
Semua keluarga Nai Ucok dari garis laki – laki adalah hula – hula dari Amani Ucok dengan panggilan hula – hula. Sebaliknya hubungan orang tua Nai Ucok terhadap Amani Ucok adalah marhela dengan panggilan amanghela atau hela atau amang saja. Hubungan Amani Ucok terhadap saudara laki – laki ibunya adalah martulang dengan panggilan tulang terhadap paman laki – laki dan nantulang terhadap istri tulang. Sebaliknya tulang dan nantulangnya adalah maribebere dengan panggilan ibebere atau bere.
Jadi bolehlah dikatankan bahwa marsimatua dabn martulang adalah sejajar tetapi hubungan hikmatnya terasa ada perbedaanya. Hubungan Nai Ucok terhadap tulang Amani Ucok adalah maramang bukan martulang seperti Amani Ucok karena Nai Ucok sendiri dianggap adalah boru juga dari paman Amani Ucok.
Bagaimana hubungan maranak – marboru demikianlah hubungan Nai Ucok terhadap paman Amani Ucok malahan Nai Ucok lebih hormat terhadap tulang Amani Ucok. Hubungan Amani Ucok dengan mertuanya atau dengan turunan mertuanya adalah marhula – hula dengan panggilan seperti yang kita tulis terdahulu. Hubungan Amani Ucok dan saudara – saudaranya sama terhadap saudara laki – laki dari ibunya adalah martulang dengan panggilan timbale balik seperti tulisan terdahulu.
Hubungan Amani Ucok dan saudara – saudara saompu terhadap turunan saudara – saudara laki – laki dari neneknya adalah marbona tulang dengan panggilan tulang sebaliknya bona tulang memangngil dengan amang boru. Tidak menjadi soal besar atau kecil, kawin atau belum kawin pangilan ini sama saja.
Hubungan Amani Ucok dan saudara – saudara saompu parsadaan atau saama mangulahi terhadap turunan saudara laki – laki isteri kakek ompu parsadaan adalah marbona ni ari dengan panggilan tulang juga atau tulang rajanami dan sebaliknya turunan bona ni ari memanggil dengan amang boru tidak persoalan kecil dan besar, kawin atau tidak kawin sama saja asal laki – laki. Hubungan Amani Ucok dan saudara –saudaranya saama terhadap saudara perempuan adalah marboru suhut dengan panggilan lae dan balasannya adalah tunggane.
Hubungan Amani Ucok dan saudara – saudara saama terhadap turunana saudara perempuan ayahnya adalah marboru tubu dengan panggilan amang boru atau lae dan panggilan balasan adalah tulang atau lae.
Hubungan Amani Ucok dan saudara – saudara saompu terhadapa turunan saudara – saudara perempuan kakeknya laki – laki adalah marboru natuatua dengan panggilan amang boru dengan panggilan balasan tulang dan panggilan ini sama saja terhadap yang kecil, besar, kawin atau yang belum kawin.
Hubungan Amani Ucok dan saudara – saudara saompu parsadaan terhadap turunan saudara perempuan dari kakek ompu parsadaan adalah marboru sihaboloan dengan panggilan amang boru dan panggilan balasan dengan tulang tidak menjadi soal besar, kecil, kawin belum kawin adalah sama asal laki – laki.
Dengan penjelasan ini dapatlah diketahui hubungan kekerabatan Suku Batak dengan Dalihan Na Tolu empat generasi vertikal keatas baik dari garis dongan tubu maupun dari garis hula – hula dan boru.
Apabila disambung – sambungkan kaitan ini hubungan ini terasa luas sekali tidak tergambarkan dengan tulisan. Sebagai misal apabila keluarga batih ( keluarga inti ) yang bersaudara banyak baik saudara laki – laki maupun saudara perempuan mempunyai turunan.
Sampai empat generasi vertikal ke bawah dalam hubungan, Dalihan Na Tolu akan ada isterilah Sabonaniari, sabona tulang, sada hula – hula. Karena bonaniari itu, bona tulang itu, tulang itu atau hula – hula itu mempunnyai banyak saudara perempuan yang kawin kepada keluarga marga lain. Walupun marganya berbeda boleh juga satu bonaniari. Demikian dengan yang bersaudara tentu kawin dengan perempuan tidak satu marga tentu hula – hula satu orang menjadi hula – hula dari orang bersaudara itu.
Demikian pula boru Sihaboloan, boru natuatua, boru tubu, boru suhut adalah banyak dari satu keluarga inti itu, membuat hubungan kaitan kekeluargaan ini secara horizontal sangat luas sekali. Disinilah peranan marga yang hendak dijelaskan lebih luas pada tulisan berikutnya.
Tetapi yang perlu diingat pada sistem kekerabatan Dallihan Na Tolu ini adalah siapa yang memegang pusat kegiatan atau suhut dalam satu kegiatan itulah yang menjadi titik tolak dengan sabutuha dan yang lain, hula – hula dan boru.
Adakalanya hula – hula itu menjadi boru dari suatu kegiatan dan sebaliknya boru itu mungkin menjadi hula – hula pada kegiatan lainnya.
Dan inilah sebabnya setiap suku Batak mengingat marga ibunya, marga nenek perempuan, marga isteri saudara – saudaranya marga suami saudara perempuan dan ayah dan nenek – neneknya dengan maksud agar dia dapat menentukan dimana kedudukannya pada suatu kegiatan.
Pada penjelasan terdahulu sering kita jumpai istilah pariban. Agar jangan mengkelirukan perlu dijelaskan bahwa : marpariban sesama perempuan adalah berkaka adik atau semarga. Marpariban sesama laki – laki asing bahwa isteri – isteri mereka adalah kakak adik atau semarga. Marpariban antara laki – laki dengan perempuan artinya adalah marboru ni tulang dan maranak ni namboru yang paling diperkenankan untuk kawin.
Di dalam hal panggilan berdasarkan istilah sistem kekerabatan boleh juga memanggil nama dengan aturan tertentu. Agar pannggilan ini tertuju kepada person yng lebih khusus maka setiap laki – laki atau perempuan yang sudah beranak diberi gelar dengan nama anaknya yng sulung.
Tidak menjadi soal apakah anaknya laki – laki atau perempuan.
Seorang laki – laki yang lahir sebelum diberi nama anak itu telah bernama si Bursok atau si Ussok sekarang ini popular dengan nama Ucok, dan jika perempuan namanya adalah si Tatap atau si Butet tetapi yang palingn popular adalah si Butet. Dengan demikian ayahnya akan digelari dengan Amani Ucok dan ibunya Nai Ucok jika anaknya laki – laki dan Amani Butet untuk ayah dan Nai Butet untuk ibu jika anak sulungnya perempuan.
Gelar ini akan segera berakhir jika anak sulungnya itu diberi nama. Jika anak sulungnya bernama Tagor maka ayahnya bergelar Aman Tagor atau Amani Tagor dan ibunya bergelar Nan Tagor atau Nai Tagor.
Status gelar kakeknya laki – laki pun berobah pula menjadi ompu Tagor Doli demikan nenek perempuan berobah menjadi ompu Tagor Boru.
Pengambilan gelar ini tidak boleh dari garis anak perempuan tetapi harus dari garis turunan laki – laki. Itulah sistem turunan suku Batak adalah patriniel. Pemberian gelar kepada nenek diambil dari anak sulung laki – laki. Anak sulung seorang nenek misalnya adalah perempuan dan anak ke dua adalah laki – laki. Walaupun anak sulung perempuan mempunyai anak sulung laki – laki dan anak sulung anak ke dua tadi adalah perempuan misalnnya bernama Ulima maka nama Ulima – lah yang berhak menjadi gelar orang tuanya dan neneknya yaitu, Amani Ulima bagi ayahnya dan Nai Ulima bagi ibunya serta ompu ni Ulima Doli bagi neneknya laki – laki dan ompu ni Ulima boru bagi neneknya perempuan.
Jika si Ulima belum lahir, sedang anak perempuan yang sulung sudah melahirkan gora misalnya, maka si kakek – nenek di gelar dengan panggilan ompung ni si Gora menandakan bahwa orang tua itu telah bercucu. Dalam hal gelar silsilah, nama adik laki – laki dari si Ulima – lah yang dipergunakan.
Pemberian gelar ini perlu dipahami karena upacara adat ada sangkut pautnya dengan gelar tersebut. Pemberian gelar ini sering dilakukan dengan upacara – upacara adat dengan jamuan makan dengan upacara tertentu.

Continue lendo >>

Gabung Dong....

My Pagerank

Powered by  MyPagerank.Net
Yahoo bot last visit powered by MyPagerank.Net
Counter Powered by  RedCounter

  ©Template by Dicas Blogger.

TOPO