Selasa, 01 September 2009

Sopan santun dalam istilah kekerabatan Batak Toba

Memang agar ruet menulis istilah kekerabatan ini. Tetapi apabila kita usahakan untuk memahaminya, berarti kita sudah agak mudah memahami sopan santun kekerabatan Dalihan Na Tolu Suku Batak. Sopan santun kekerabatan maksudnya adalah bagaimana seharusnya seseorang, keluarga, sekelompok kekerabatan bersikap prilaku baik cara menyapa, bertutur kata menyebut atau memanggil maupun cara duduk terhadap seseorang, keluarga kelompok kekerabatan dan masyarakat. Untuk mempermudah memahami sopan santun kekerabatan hendaklah kita pahami lebih dahulu bahwa prinsip dasar sopan santun kekerabatan Dalihan Na Tolu adalah : Somba marhula – hula, elek marboru, manant mardongan tubu ( mardongan sabutuha ). Maksudnya setiap insan suku Batak harus hormat kepada hula – hulanya, kelompok kerabat hula – hula, tulang, bona tulang dan bonaniari termasuk kepada semua marga yang dikategorikan olehnya sendiri, termasuk ke dalam kelompok hhulu – hulanya. Biarpun dalam suatu kejadian, kelompok hula – hula ada yang bersifat kasar, adalah kewajiban seseorang yang menganggap yang bersikap kasar tadi itu hula – hulanya dengan cara lemah lembut hormat dengan penuh sopan santun bahwa perbuatan hula – hulanya itu tidak baik.
Pada umumnya sihula – hula akan sadar akan perbuatannya dan kembali seperti biasa. Adalah sangat malu seseorang hula – hula bersikap kasar di hadapan borunya. Jika seseorang hula – hula tidak malu berbuat demikian pada hari – hari lain dia akan tersingkir sendiri, karena merasa malu terhadap masyarakat sekitar atau terhadap kelompoknya.
Somba artinya Sembah, pengertian ini sudah jelas bagi kita bagaimana sikap perilaku seseorang terhadap hula – hulanya. Disamping tangan turut menyembah, tutur kata, cara duduk dan semua tingkah laku harus turut menyembah yang dilaksanakan dengan penuh hormat dan kesopanan.
Mengapa, sampai demikian pengnhormatan ini berlebih – lebihan terhadap hula – hula ( kelompok hula – hula ) adalah berdasarkan pandangan bahwa hula – hula ( kelompok hula – hula itu ) merupakan Debata Naniida atau Tuhan yang nampak di dunia ini. Jadi berdasarkan pandangan ini bahwa kelompok hula – hula itu adalah merupakan wakil Tuhan bagi boru di dunia ini. Pandangan suku Batak ini adalah gambaran seseorang Batak betapa cintanya, sayangnya, hormatnya ia terhadap ibunya sendiri dan penghormatan orang Batak terhadap wanita. Menyembah kepada hula – hula pihak saudara laki – laki ibu berarti dalam gambaran saying kepada ibu. Memang dalam kehidupan sehari – hari demikianlah adanya dan itu dapat kita lihat dari lagu – lagu Batak lebih banynak kata inang yang muncul dari kata amang di dalam lirik lagu.
Elek marboru maksudnya sikap seseorang haruslah persuasif terhadap borunya. Didalam kehidupan sehari – hari sikap seseorang hula – hula haruslah selalu lemah lembut terhadap borunya. Penuh bujuk dan ceria tidak kaku. Pada setiap perjumpaan antara boru dengan hula – hulanya sikap itu terus jelas nampak, gembira dan penuh persaudaraan satu sama lain disertai dengan kata – kata lemah lembut.
Pembicaraan agak bebas, keluar dari lubuk hati, bersikap terbuka dengan kata – kata yang sopan. Hula – hula selau mengambil hati boru.
Dapatlah dikatakan segala usaha dilakukan hula – hula agar hati boru tetap tenang. Segala sesuatu yang mungkin menyinggung hati boru hendaklah disingkirkan jauh – jauh. Dengan demikian suasananya akan penuh persaudaraan saling hormat menghormati.
Hubungan kekerabatan demikian tejadi adalah berdasarkan pandangan suku Batak bahwa wibawa ( sahala ) hula – hula itu kuat, berkat kekuatan borunya.
Boru menganggap hula – hulanya sebagai Tuhan yang dilihat untuk memberkatinya, sebab itu boru harus menyembah dan memberikan segala sesuatu demi wibawa hula – hulanya. Hula – hulanya menyadari itu, sebab itu hati boru harus senang, tidak boleh tersinggung maka ia harus bersikap bujuk.
Sudah kita jelaskan dimuka hak dan kewajuban kelompok kerabat Suku Batak. Borulah yang menjadi tiang beban pelaksanaan setiap upacara horja didalam hubungan formal dan non formal. Bukan saja hanya bantuan tenaga dan pikiran tetapi terutama dalam bantuan material.
Malahan korban jiwa pun demi hula – hula sering terjadi dilingkungan masyarakat Batak. Jika ada sesuatu kejadian pada masyarakat Batak sidang kelompok dengan tubu terus saja meminta pendapat boru untuk saran penjelasan.
Pendapat boru ini sangat penting, karena apa saja keputusan siding, pelaksanaanya adalah boru. Dengan demikian wajarlah agar hati boru ini dibujuk oleh hula – hulanya dan segala silang sengketa harus dijauhkan terhadap boru. Kaitan pandangan suku Batak Toba sangat erat dengan kelahiran. Itulah sebabnya Suku Batak mengharapkan kelahiran anak – anak laki – laki dan anak perempuan di dalam kehidupan setiap keluarga. Nampak – nampaknya belumlah sempurna satu – satu keluarga apabila keluarga itu belum lengkap melahirkan anak laki – laki dan perempuan.
Tentu ini menimbulkan masalah dikemudian hari. Masalah ini memang dapat diatasi dengan kelompok kekerabatan keluarga itu.
Manat Mardongan tubu atau mardongan sabutuha maksudnya agar didalam hubungan sehari – hari maupun didalam upacara horja, setiap yang bersaudara laki – laki haruslah bersikap prihatin terhadap sesamanya.
Prihatin maksudnya adalah was – was dan hati – hati pada sikap tingkah laku satu sama lain agar wawasan kekeluargaan tetap utuh didalam kelompok kekerabatan. Pada pembicaraan adalah sangat terbuka dan bebas.
Tetapi didalam kebebasan itu harus ada seringan pembicaraan agar yang lain jangan tersinggung. Apabila sempat tersinggung keretakan akan timbul ibarat kebakaran yang sulit dipadamkan. Sebab itu pembicaraan bebas dan demokrasi haruslah terkendali demi kelompok kekerabatan.
Enak memang, pembicaraan nampaknya kasar tetapi hatinya bersih. Tetapi bagaimana kita dapat mendengar suara keras yang nampaknya kasar itu dengan melihat hati yang bersih ?
Mengapa harus hati – hati terhadap sesama bersaudara dan kawan semarga ?. bukankah mereka lahir dari rahim yang sama yang sama atau ayah yang sama ?
Bukankah mereka semarga didalam prinsip keturunan kekeluargaan lebih mudah dipersatukan karena adanya pertalian darah ?
Memang benar demikian, karena nenek moyang kita adalah pemikir, pencipta dan berkat pengalamannya maka diciptakannyalah sikap sopan santun kekerabatan ini agar sesama bersaudara haruslah prihatin dan was – was agar wawasan kekeluargaan tetap berkesinambungan untuk sepanjang jaman.
Mereka yakin dengan sikap manta mardongnan tubu, kelompok kekerabatan semarga akan tetap berkelanjutan dengan utuh. Pandangan Suku Batak ini terjadi dengan pola pemikiran bahwa Dongan Tubu inilah prinsip dasar dalam kelompok kekerabatan Dalihan Na Tolu; pusat keinginan penyusunan rencana dan program kegiatan perkembangan suku bangsa; pusat rencan dan program atau suhut yang menjadi titik tolak perkembangan maju mundurnya organisasi kekerabatan itu.
Jika sesama mereka tidak sejalan apakah yang dapat direncanakan dan diprogramkan ?. prihatin maksudnya adalah agar semua sesama saudara itu turut bantu membantu untuk kemajuan sesama bersaudara baik kemajuan material maupun di dalam budaya spiritual. Didalam perkembangan selanjutnya sesama kelompok kekerabatan ada sampai membuat yayasan keluarga yayasan marga demi kemajuan keluarga dan marag itu. Was – was maksudnya agar wawasan kelompok kekerabatan tetap utuh. Janganlah wawasan kelompok kekerabatan menjadi hilang akibat dari pada ketidak kehati – hatian seseorang anggota sesama saudara atau semarga.
Sudah kita katakan tadi bahwa dongan tubu itu adalah pusat kegiatan atau suhut. Kalau pusat kegiatan itu goyah karena sikap dan pembicaraan yang tidak kehati – hatian maka wawasan kekerabatan akan goyah. Kalau wawasan kekerabatan ini goyah serupa dengan kejadian kebakaran yang sulit untuk memadamkannya. Itu terjadi karena lebih banyak yang mengipas – ngipas api dari yang memadamkannya.
Suadahmenjadi sifat manusia rupanya lebih menonjol keakuan ( egois ) dari pada kesosialan. Kesosialan kekeluargaan agak sulit ditrapkan karena lebih banyak pikiran – pikiran yang heterogen dari luar yang mempengaruhi dari pada pikiran yang homogen dari dalam keluarga inti itu.
Misalnya seseorang keluarga mempunnyai 3 anak laki – laki 3 anak perempuan masing – masing sudah berumah tangga. Didalam siding kelaurga sudah ada 12 suara. Biasanya suami isteri adalah sama. Kita annggaplah dahulu bahwa pendapat sesama bersaudara yang enam orang itu adalah sama atau homogen tetapi karena isteri – isteri dan suami – suami sesama bersaudara yang datang dari luar pasti berlatar belakang pemikiran yang berbeda satu sama lain atau heterogen. Jika 6 orang sesama saudara pemikirannya adalah homogen 6 orang dari luar pemikirannya heterogen yang kuat pengaruhnya karena sudah menjadi isteri dan suami dari keluarga itu akan lebih banyak menimbulkan kesulitan dikalangan keluarga.
Walau keluarga anak laki – laki yang mengambil kesimpulan tetapi pendapat dari anak perempuan dan suaminya adalah sangat penting sebagai penannggung beban. Selama orang tua mereka mamsih hidup, khikmat kebijaksanaan untuk memimpin mereka mamsih cukup kuat untuk mengendalikan keluarga itu. Dan kalaupun orang tua mereka telah meninggal selama anak sulung laki – laki masih berwibawa, keluarga itu masih tetap utuh. Tetapi apabila anak sulung laki – laki tidak berwibawa lagi dan adik – adiknya sudah berani bercakap kasar kepada abangnya mungkin karena warisan atau dipengaruhi isterinya maka kekeluargaan akan pecah dan akan menjalar seperti api kepada keluarga – keluarga isteri. Jika yang demikian itu sudah sempat terjadi seperti maka kesatuan keluarga itu akan berantakan sampai turunan – turunannya kemudian tiada persatuan dan kesatuan lagi. Yang paling menderita dalam kejadian ini adalah saudara – saudara mereka yang perempuan. Mereka menjadi bingung siapa diantara hula – hula yang menjadi pegangan. Apabila mereka memilih salah satu saudaranya berarti boru itu sudah tutur membakar keluarga itu karena telah memihak.
Sebab itu si boru harus menyatukan hula – hula mereka, jika berhasil akan menimbulkan kegembiraan dan kerugian materi apabila tidak berhasil maka mereka akan malu dan akan tetap malu sepanjang masa dengan turunannya, sehingga tidak jarang seseorang keluarga melarang anaknya mengawini keluarga yangn demikian itu.
Supaya hal yang seperti ini tidak terjadi maka diciptakanlah sopan santun pergaulan sesama saudara laki – laki, namardongan tubu agar tetap manat mardongan tubu atau prihatin dan was – was terhadap sesama saudara yang dimulai sejak anak lahir itu, didalam pendidikan keluarga seperti yang kita tulis berikut ini.
Tetapi sebelum sampai pad tulisan tersebut adalah lebik baik apabila kita mulai lebih dahulu akan arti tanggung jawab hak dan kewajiban perorangan, keluarga kelompok kekerabatan dan masyarakat.
Raja dalam pengertian Suku Batak ada dua jenis. Satu sebagai raja pemerintahan yang mengendalikan rakyatnya. Dua sebagai pengertian tanggung jawab akan hak dan kewajiban.
Didalam tulisan ini maksud raja adalah pengertian tanggung jawab dan kewajiban Suku Batak, Raja ni Dongan tubu, maksudnya adalah penghormatan yang diberikan kepada dongan tubu yang tahu dan dapat melaksanakan hak dan kewajiban sebagai dongan tubu didalam kegiatan itu atau horja itu.
Demikian pula dengan Raja ni hula – hula maksudnya adalah penghormatan dan panggilan kepada hula – hula yang tahu dan dapat melaksanakan hak dan kewajiban dan hak sebagai hula – hula didalam kegiatan itu.
Raja ni borupun demikian juga adalah merupakan panggilan dan penghormatan kepada boru yang dapat mengetahui, memahami dan melaksanakan kewajiban dan hak sebagai boru pada setiap kegiatan.
Sebagai titik tolak sopan santun pergaulan kekerabatan masyarakat Batak marilah kita mulai dari keluarga basic atau keluarga inti.
Rumah Batak adalah tempat tinggal utama keluarga inti masyarakat Batak.
Menurut pendapat Bapak E. W. P. Tambunan mantan Gubernur Propinsi Sumatera Utara bahwa Ruma itu adalah kependekan dari Ririt di Uhum Manotari di Adat makskudnya bahwa Ruma Batak itu adalah tempat pendidikan akan peraturan – peraturan ( ririt di uhum ) dan tempat belajar akan adat ( manotari di adat ). Setelah anak – anak tahu akan pendidikan dan adat sopan santun sianak tidak boleh lagi tidur di rumah tetapi di SOPO. Sopo itu adalah lumbung padi tempat padi disimpan dan sering dipergunakan para pemuda untuk tidur.
SOPO itu adalah kependekan dari Satahi Olo Parulian Ondop maksudnya para pemuda harus mau bermusyawarah untuk mencapai kata sepakat maka rejeki akan datang berikutnya. Memang di sopo itulah para pemuda menngadakan musyawarah untuk mendapatkan kesepakatan bekerja marsiadapari disawah ladang ( gotong royong ) malahan sampai martandang kepada gadis – gadis di malam hari termasuk merencanakan acara muda – mudi seperti gondangn naposo.
Demikian juga anak – anak gadis dapat tidur bersama – sama di rumah – rumah janda atau di ruma dagang tersendiri. Walaupun ada perjumpaan anak – anak gadis dan pemuda – pemuda disopo atau dirumah janda dimalam hari mereka tidak ada yang melanggar susila karena telah dibekali dengan pendidikan pengetahuan akan peraturan – peraturan dan adat di ruma yang kita katakan tadi.
Bagaimana rupanya pendidikan yang diadakan di Ruma tempat tinggal keluarga inti itu. Pendidikan itu didasarkan pada : Pantun Hangoluan Tois hamagoan, maksudnya bahwa anak – anak yang bersikap prilaku budi luhur adalah merupakan kehidupan sehat rohani dan setiap perbuatan anggap leceh, anggap enteng, semborono dan berpura – pura adalah kehilangan harga diri atau kesusahan. Jadi sejak semula anak –anak telah dididik bersopan santun tutur kata kepada sesamanya dan linngkungannya dan tidak boleh tois – leceh – pandang enteng dan berpura – pura karena nanti hidupnya akan susah.
Pendidikan itu dilakukan sejak kecil, terutama kepada anak sulung diajari bertanggung jawab terhadap adik – adiknya penuh kasih saying dan wibawa dan adik – adiknya dididik hormat kepada yang lebih tua. Anak perempuan dididik merasa hormat dan saying kepada saudara laki – laki walaupun anak laki – laki itu bahwa umurnya dan kepada anak perempuan ditanamkan rasa mendapat perlindungan dari saudara – saudaranya laki – laki.
Demikian kepada anak laki – laki dididik agar pada dirinya tertanam rasa tanggung jawab mengayomi atau melindungi saudara – saudaranya perempuan.
Mereka di ajari cara bertutur kata untuk menyebut atau memanggil keluarga.
Kepada yang lebih tua dipakai perkataan hamu atau anda kepada yang lebih muda boleh memakai kata ho yang artinya adalah anda juga.
Misalnya, si adik disuruh ayahnya memanggil abangnya maka si adik itu akan berkata kepada abangnya : “ hamu abang dijou amanta “, yang artinya abang anda di panggil ayah kita. Sebaliknya jika si abang disuruh si ibu memanggil adiknya maka abangnya akan berkata : ho dijou inanta artinya kau dipanggil ibu kita.
Tetapi terhadap sesama bersaudara baik laki – laki maupun perempuan, mereka akan mengatakan : “ hamu ito dijou amanta “ artinya : anda dipanggil ayah, berlaku untuk saudara laki – laki atau saudara perempuan.
Mereka memang diberi nama untuk dipanggil. Tetapi memanggil seseorang dengan namanya bergantung pada kedudukannya berdasarkan keturunan. Adalah tidak sopan apabila si adik-an memanggil atau menyebut nama abangnya. Hanya yang tua-an dari mereka yang dapat memanggil nama atau menyebut nama adiknya. Demikian pula sesama perempuan yang bersaudara ( marpariban ) memanggil satu sama lain. Hamu angkang dijou inanta, artinya kakak dipanggil mama. Tetapi sebaliknya kakaknya akan mengatakan ho dijou inanta, yang artinya kau dipanggil mamak. Adalah sangat pantang apabila sesama bersaudara laki – laki dan perempuan bertengkar, apabila bercakap kotor.
Dihadapan sesama bersaudara laki – laki dan perempuan janganlah kita bercakap sembarangan atau cakap kotor karena hal itu dianggap menghina. Apabila sesama bersaudara laki – laki bertengkar, pertengkaran itu akan dapat berhenti dengan tiba – tiba apabila saudara perempuan mereka hadir disitu.
Mereka sesama saudara merasa takut akan hal yang akan terjadi, karena sisaudara perempuan tadi akan menangis atau meratap dengan kuat – kuat melihat saudaranya berkelahi.
Saudara perempuan adalah sungkan terhadap saudara laki – laki dan saudara laki – laki saying dan membujuk terhadap saudara peremuan.
Terhadap sesama saudara laki – laki pembicaraan boleh terbuka, akrab dan rapat tetapi harus was – was jangan ada yang tersinggung, si adik sungkan terhadap abangnya dan si abang bertanggung jawab terhadap adiknya.
Terhadap sesama saudara perempuan, sikap terbuka dan bebas penuh keceriaan sesamanya. Si adik mematuhi kakaknya dan si adik boleh manja kepada kakaknya asalkan jangan menjengkelkan. Di dalam tutur Batak saudara sesama perempuanlah yang paling enak/akrab di dalam hubungan kekerabatan.
Tanggo urat ni padang toguan pinggol ni hirang, tabo do na marpadan alai taboan dope na marpariban. Maksudnya bagaimanapun teguh dan enaknya janji didalam persahabatan, jauh lebih enak apabila hubungan kita marpariban, saudara sesama perempuan.
Anak perempuan sungkan kepada orang tuanya. Memang tidak dapat terlukiskan saying anak perempuan kepada ibunya tetapi jauh dari itu saying anak perempuan terhadap ayahnya. Ayah sangat saying terhadap anak perempuan dan memanjakannya. Dalam pembicaraanpun sikap ayah terhadap anaknya perempuan tetap bersikap membujuk dengan kata – kata : hamu ito alusi jolo inanta maksudnya anakda dipanggil mamak.
Sering panggilan hamu ito terhadap anak perempuan diganti dengan ho inang. Didalam kata – kata hamu ito ada hikmad tersembunyi yaitu menyayangi dan didalam kata – kata ho inang terhadap ayahnya perempuan ada hikmad tersembunyi yaitu memanjakan.
Ayah terhadap anak laki – laki selalu bersikap bertanggung jawab baik dalam kata – kata maupun perintah. Hal ini harus dilakukan supaya sejak pagi – pagi hari si anak laki – laki tidak lepas dari rasa tanggung jawab baik terhadap diri sendiri maupun tanggung jawab keluarga. Anak terhadap orang tua laki – laki adalah sangat sungkan. Anak laki – laki itu bersikap dan melihat ayahnya dari sudut wibawa bukan dari sudut kasih saying walaupun kasih sayang itu sebenarnya sudah tertanam di dalam wibawa sang ayah. Sebaliknya anak laki – laki sangat sungkan kepada ibunya, yaitu sungkan yang penuh kasih sayang dalam hubungan hati terbuka seperti bersaudara. Anak laki – laki sangat saying terhadap ibunya, malahan wibawa ibu dapat dilihat dari sudut kasih sayang terhadap anaknya.
Sering ibu mengatakan kepada anaknya laki – laki dengan kata –kata : “ Molo ho daba “ maksudnya hikmat kata – kata ibu menganggap anaknya laki – laki itu sudah sebagai penanggung jawab di dalam keluarga sebagaimana tanggung jawab suaminya terhadap dirinya. Maka tidak jarang terhadap keluarga Batak bahwa ayah lebih memanjakan anaknya perempuan dan ibu lebih memanjakan anak laki – laki dan sebaliknya anak perempuan lebih menyayangi ayahnya dan anak laki – laki lebih menyayangi ibunya. Sebab itu ayah ibu harus lebih bijak menerima sungkan anak – anaknya karena akibat kenyataan kasih saying yang berbada akan menimbulkan sedikit demi sedikit keretakan yang tidak disadari didalam keluarga itu.
Didalam hal pemanggilan sesame keluarga yang kita sebutkan tadi terutama dengan panggilan nama yang terdapat pada satu – satu keluarga, kita akan dapat melihat sejauh mana pendidikan kekerabatan yang sudah ditrapkan didalam keluarga itu. Justru ukuran dahulu untuk mengikat kekeluargaan dengan perkawinan banyak dilihat dari sudut cara bercakap bertutur utama mengikat kekerabatan dan yang lain adalah soal kedua.
Pada perkembangan sekarang ini hal yang demikian sudah sangat jarang didapat, terutama bagi anak – anak yang sudah lahir di luar Bona Pasogit. Sedang di Bona Pasogit sendiripun cara sopan santun kekerabatan ini sudah sangat jauh tertinggal didalam pelaksanaan. Hal ini akan lebih mendalam dibahas pada pergeseran nilai pandangan Suku Batak. Pergaulan sesama keluarga sekarang, baik di kota maupun di desa sudah banyak di pengaruhi pergaulan cara modern. Tetapi masih nampak sedikit, baik anak desa terutama anak kota masih ada penghargaan anak – anak itu kepada kebudayaan leluhurnya. Justru inilah maksud utama penerbitan buku ini. Kalaupun sudah ada pergeseran nilai budaya sistem kekerabatan dengan memahami kembali akan nilai tradisional positip dari nenek moyang kita itu akan menarik perhatian generasi – generasi berikutnya melaksanakan sistem kekerabatan nenek moyang kita. Pada generasi itu akan terjadilah restorasi nilai budaya sukunya di dalam kesatuan bangsa yang berbeda – beda tetapi tetap satu di dalam kesatuan bangsanya.
Apabila kita telah menggambarkan bagaimana sikap perilaku tentang sopan santun pada keluarga inti ( basic family ) bagaimana sikap terhadap saudara sesama laki – laki, sikap saudara laki – laki terhadap saudaranya perempuan dan sebaliknya, sikap terhadap saudara sesama perempuan dan sikap anak – anak terhadap orang tuanya serta sebaliknya demikianlah sikap sopan santun antara turunan sesama saudara laki – laki namarhaha – maranggi dan namariboto. Artinya sikap sesama saudara lelaki, saudara laki – laki dengan saudara perempuan dan sesama saudara perempaun adalah sama terhadap turunan abang atau adik ayah laki – laki.
Lain halnya terhadap anak dari saudara perempuan ayah. Lae Boru yaitu anak laki – laki dari saudara perempuan ayah harus bersikap rasa hormat di dalam sesama persaudaraan dengan Lae tunggane-nya dan lae tunggane harus bersikap rasa membujuk dalam suasana persaudaraan juga terhadap lae boru-nya. Sedang terhadap ito anak perempuan dari saudara perempuan ayah terhadap anak laki – laki saudara ibu perempuan itu, juga harus dengan sikap membujuk dan sebaliknya juga perempuan merasa hormat terhadap saudara laki – laki anak saudara laki – laki anak saudara ibunya.
Yang paling menarik adalah sikap perilaku anak perempuan seorang ayah terhadap anak laki – laki dari saudara perempuan ayah adalah bebas dan gembira karena maranak ni namboru dan namarpariban. Boleh dengan seloro, bergurau, karena menurut adat Batak, hubungan ini lah yang diperkenankan untuk kawin mengawini sedang terhadap anak perempuan dari saudara perempuan ayah itu yaitu namareda sikapnya adalah sayang dan sebaliknya eda saudara anak ni namboru harus merasa hormat terhadap eda pariban saudara sendiri.
Demikian sikap sopan santun antara turunan sesama saudara dan sikap sopan santun ini berkembang luas terhadap saudara – saudara semarga. Dengan mengetahui sikap sopan santun turunan sesama saudara perlu juga rasanya diketahui sikap sopan santun sesama saudara dan kekerabatan selanjutnya.
Adik harus hormat dan sungkan terhadap abang laki – laki ( marhaha maranggi ) dan abangnya saying dan bersifat melindungi terhadap adiknya di dalam suasana bebas tetapi harus dibarengi kehati – hatian agar jangan terjadi keretakan.
Saudara laki – laki harus bersifat saying dan membujuk kepada saudara – saudara perempuan ( namariboto ) dalam suasana ceria dan saudara perempuan harus sungkan terhadap saudara laki – laki dalam suasana perasaan bahwa saudara perempuan barhak untuk dilindungi saudara laki – laki.
Adik laki – laki harus sungkan terhadap isteri abangnya ( marangkang boru ) dalam suasana sayangi dan manja, karena si adik merasa sebagai anak dari kakaknya dan kakaknya merasa saying bebas terhadap adiknya laki – laki dengan suasana perasaan bahwa ia bertanggung jawab akan adik – adiknya dan merasa dirinya sebagai ibu dari adik – adik suaminya.
Sebaliknya isteri adik harus sungkan, hormat dan segan terhadap abang suaminya ( marhaha doli ) dan abang suaminya harus segan dengan rasa menghormati melindungi kepada isteri adiknya ( maranggi boru ) malahan dalam hubungan yang ekstrim tidak boleh bersalaman, bersiteguran apalagi berjumpa ditengah jalan tidak ada teman, salah seorang dari mereka harus menyingkir.
Didalam percakapan resmipun kata – kata mereka harus didahului dengan hamu inang, atau hamu amang atau nasida haha doli atau nasida anggi boru. Isteri adik terhadap isteri abang ( sapaniaran ) harus sungkan didalam suasana persaudaraan dan isteri abang terhadap isteri adik bersikap sayang bebas melindungi. Tetapi didalam prakteknya sikap mereka tidak serasi dan malahan saing – menyaingi. Sikap prilaku suami terhadap saudara laki – laki isterinya ( marlae tunggane ) haruslah sungkan didalam suasana menghormati dan menghargai, sebaliknya saudara laki – laki terhadap suami saudara perempuan merasa membujuk menghormati dan menyayangi ( marlae boru ) dalam suasana persaudaraan.
Sikap prilaku suami terhadap isteri saudara laki – laki isteri ( marbao atau marbesan ) haruslah segan dan hormat dan demikian sebaliknya dalam suasana persaudaraan. Sikap sopan santun ini serupa halnya dengan sikap sopan santun marhaha doli dan marangngi boru dan di dalam prakteknya nampaknya kaku. Demikian juga halnya saudara perempuan haruslah sungkan terhadap isteri saudara laki – laki ( mareda – marhula – hula ) dalam suasana persaudaraan dan demikian pula sebaliknya sikap isteri saudara laki – laki terhadap saudara perempuan ( mareda – marboru ) adalah saling menghormati.
Tetapi di dalam prakteknya hubungan ini banyak yang tidak serasi karena sikap mereka yang tidak tolerans. Isteri menganggap edanya mencampuri rumah tangga dan saudara perempuan menganggap edanya terlalu menjauhkan saudara laki – laki dari dari saudara – saudara perempuan. Hubungan yang paling mesra dan ceria dengan sikap sopan santun yang bebas adalah sikap sesama saudara perempuan yaitu namarpariban. Sikap ini mengalir juga terhadap suami – suami mereka.
Suasana persaudaraan namarpariban ini adalah merasa satu, merasa setanggung jawab, mereka sering berbicara dengan kata hati. Kakak bersama suami merasa melindungi terhadap adik dan suaminya dan si adikpun merasa demikian. Sebaliknya si adik dan suami merasa hormat dan sayang bangga terhadap suami dan kakaknya ( marangkang pariban dan maranggi pariban )
Demikianlah sikap sopan santun sesama saudara yang berkembang lebih luas pada kelompok kekerabatan dan kelompok semarga.
Marilah kita lanjutkan sikap sopan santun sesama saudara terhadap orang tua dan beberapa hubungan vertikal ke atas, sistem kekerabatan suku Batak. Sikap anak terhadap ibu – bapaknya adalah sama untuk suku bangsa di Indonesia tetap hormat dan sungkan, tetapi di dalam hubungan menantu dengan mertua tentu ada perbedaan.
Sikap perilaku menantu perempun terhadap mertua laki – laki harus sungkan dan hormat dalam arti segan ( marsimatua doli ) demikian pula sikap mertua laki – laki terhadap menantu perempuan adalah hormat melindungi dalam arti segan menyayangi ( marparumaen ). Pembicaraan harus sopan dan percakapan sering didahului dengan kata – kata :” hamu amang” atau “ nasida amanta simatuangku “. Malah apabila parumaen mau menjumpai mertua laki – laki harus diusahakan ada teman dan cara berpakaianpun harus cukup sopan agar jangan salah penilaian mertua.
Demikian pulalah sikap mertua laki – laki terhadap menantu perempuan tidak boleh berbicara bebas malahan dalam setiap pembicaraan harus didahului kata – kata “ Hamu inang parumaen “, atau “ Nasida inanta parumaen “. Adalah tidak baradat apabila ada mertua laki – laki berduaan dengan menantu perempuan. Jikapun ada perjumpaan yang tidak disengaja, masing – masing kedua belah pihak berusaha untuk menyingkir. Bagaimana sikap prilaku sopan santun meramang bao / marinang bao, marhaha doli/ maranggi boru demikianlah harus sikap sopan santun terhadap marsimatua doli dan marparumaen.
Sikap sopan santun menantu perempuan terhadap mertua perempuan ( marsimatua boru ) adalah sungkan dan hormat dengan perasaan melindungi. Sebaliknya mertua perempuan terhadap menantu perempuan adalah bersifat menyayangi ( marparumaen )
Hubungan mereka adalah bebas saling hormat menghormati, malahan panggilan “ inang simatuangnku “ sering berganti dengan namboru, karena telah dianggap sebagai saudara perempuan dari ayah sendiri. Tetapi di dalam hubungan sehari – hari sering tidak ada keserasian. Malah hubungan mereka sering menimbulkan masalah keluarga yang menimbulkan pertengkaran.
Seolah – olah antara mertua dan menantu beranggapan bahwa siparumen menjauhkan anaknya dari dirinya dan siparumaen beranggapan bahwa mertua menjauhkan suaminya dari dirinya.
Bagaimana pula hubungan sopan santun antara menantu laki – laki terhadap orang tua isteri atau mertuanya ( marsimatua ) dan bagaimana pula sikap mertua terhadap menantu ( marhela ) suami anaknya ?. Sikap sopan santun antara menantu laki – laki terhadap mertua laki – laki adalah sungkan dalam rasa berwibawa disegani dan mertua laki – laki terhadap menantu laki – laki adalah hormat, sayang dan membanggakan. Dmikian juga lah sikap mertua perempuan terhadap menantu laki – laki mempunnyai rasa segan tetapi menganggap menantu itu atau memperlakukan menantu itu sebagai anak sendiri sebagaimana sayangnya kepada anak perempuan isteri menantu.
Mereka bicara sopan dalam suasana sayang hormat – menghormati dan si mertua tetap merasa bangga akan menantunya. Hubungan ini adalah salah satu hhubungan sopan santun yang ceria dalam sopan santun kekerabatan Dalihan Na Tolu. Bagaimana ceria sikap sopan santun sesama saudara marpariban demikianlah sopan santun marsimatua boru dibarengi dengan rasa sungkan satu sama lain. Tinggal lagi rasa ceria marsimatua boru disimpan di dalam hati dengan perilaku hormat, sopan, dan penih keseganan satu sama lain, sedang marpariban ceria sikap sopan santun ini terbuka dan bebas. Seolah – olah hubungan mertua perempuan dengan anak – anaknya perempuan beserta suami masing – masing satu front menghadapi menantu – menanntu perempuan isteri – isteri dari anaknya.
Didalam kenyataan hidup pada pelaksanaan sistem kekerabatan suku Batak ini timbul pertanyaan : mengapa setiap menantu laki – laki sangat hormat dan sangat baik terhadap mertuanya, orang tua isterinya dan sebaliknya mengapa menantu perempuan sering tidak serasi malahan tak cocok terhadap mertua orang tua suaminya ?. ( Boasa ia baoa mansi denggan jala burju marsimatua hape ia borua indang apala burju marsimatua ? ).
Kenyataan hidup ini perlu diseminarkan demi keserasian hubungan kekerabatan pada Suku Batak. Sopan santun yang tidak kalah menarik adalah tentang memanggil atau menyebut seseorang. Supaya sasaran person tepat terhadap panggilan maka setiap orang diberi nama atau gelar bagi seseorang untuk memanggilnya, atau sebagai identitas pribadi bagi pribadinya. Jika demikian berarti nama itu adalah untuk disebut – sebut dan dipanggil – panggil pengganti diri istilah kekerabatannya. Tetapi sebaliknya adalah menarik bahwa seseorang Suku Batak terlebih – lebih Batak Toba tidak akan terasa enak apabila namanya dipanggil pengganti dirinya jika tidak pada tempatnya.
Dan malahan ia akan merasa senang jika dipanggil dengan marganya atau dengan gengan yang diberikan kepadanya berdasarkan anak sulung.
Rupanya penyebutan dan panggilan nama bagi Suku Batak terikat pada sikap sopan santun kekerabatan Suku Batak dengan alasan bahwa harga pribadi terdapat atau termasuk didalam cara menyebut atau memanggil nama seseorang.
Sesama saudara, semarga, sekampung, sepergaulan memang diperkenankan memanggil seseorang dengan namanya, tetapi pemanggilan itu masih sopan apabila yang dipanggil dengan namanya itu belum berkeluarga.
Pada mulanya pemanggilan seseorang dengan namanya hanya diperkenankan berdasarkan kedudukan pribadinya. Pada umumnya pemanggilan seseorang dengan namanya itu dilakukan yang lebih tua kepada yang lebih muda, pemanggilan abang kepada adiknya dan panggilan kakak kepada adiknya dan panggilan saudara laki – laki terhadap saudara perempuan sebaliknya adik tidak boleh memanggil abangnya dan kakaknya dengan namanya karena kurang sopan. Ayah – ibu boleh memanggil nama anak – anaknya tetapi anak – anak tidak boleh menyebut nama orang tuanya, konon untuk memanggil orang tua dengan namanya adalah sangat tabu bagi suku Batak. Nenek – nenek boleh memanggil nama cucu – cucunya tetapi cucu memanggil nenek harus dengan istilah kekerabatannya.
Dalam perkembangan selanjutnya apabila anak – anak sudah berkeluarga adalah tidak enak apabila ayah dan ibunya memanggilnya dengan namanya.
Orang tua menyadari itu maka anaknya itu akan dipanggil dengan gelarnya berdasarkan anak sulung, Amani si Togar misalnya. Apabila ia belum mempunyai anak maka gelarnya adalah nama anak kedua atau ketiga dan seterusnya dari anak abangnya. Seseorang isteri akan merasa tersinggung apabila suaminya masih dipanggil dengan namanya tidak dengan gelarnya oleh orang tua atau oleh siapapun juga. Hal itu terjadi adalah berdasarkan anggapan bahwa pemanggilan seseorang dengan namanya hanya boleh dilakukan terhadap anak – anak.
Jadi jika suaminya masih dipanggil dengan namanya berarti si isteri dianggap bersuamikan anak – anak. Pemanggilan itu tidak hanya berlaku terhadap laki – laki saja tetapi juga terhadap perempuan. Seseorang saudara perempuan yang sudah bersuami akan marah terhadap saudaranya laki – laki apabila ia masih dipanggil dengan nama kecilnya. Kadang – kadang pemanggilan dengan nama kecil seseorang walaupun sudah berkeluarga masih boleh dilakukan pada saat berseloroh dan bernostalgia atau memuaskan melepaskan rindu.
Penyebutan atau panggilan nama seseorang ayah atau nenek oleh seseorang anak akan dapat menimbulkan perkelahian anak – anak menjadi perkelahian orang dewasa dan keluarga karena dianggap menghina. Itulah sebabnya seseorang Batak akan merasa senang apabila dia dipanggil dengan marganya secara nasional dan gelarnya untuk sesama keluarga.
Juga seseorang Suku Batak akan merasa tidak enak apbila ia dipanggil dengan marganya didalam kelompok kekerabatan / keluarga dekat dan baru merasa senang apabila ia dipanggil dengan gelarnya misalnya Amani Togar. Jadi bukanlah merupakan kecongkakan atau kesombongan atau penonjolan diri pada setiap perkenalan dengan masyarakat luas apabila selalu memperkenalkan diri dengan marganya. Mungkin orang luar akan beranggapan akan mengatakan kepada seseorang Suku Batak “ Yang panatik kali-lah kawan ini kepada Bataknya ” karena memperkenalkan diri dengan marganya.
Memperkenalkan diri dengan marga itu akan dijelaskan lebih luas pada tulisan kemudian. Didalam kehidupan sehari – hari sopan santun kekerabatan kadang – kadang berbalikan dengan tata cara Sopan santun. Orang – orang luar mungkin memandangnya kasar, tetapi bagi yang merasakan dan yang melakukan, cara begitulah mendapat rasa nikmat yang terasa khikmatnya. Makin kasar semakin enak dirasa dengan anggapan sudah keluarga dekat. Didalam keluarga batih dengan sopan santun yang kita tuliskan dimuka hendaklah dianggap hikmat dihati sebagai buah cara kasar yang dilakukan. Berkat dengan bebas didalam keluarga adalah menunjukkan keluarga dekat. Apabila seseorang sudah ditolerer dapat berbicara bebas dengan bahasa bebas terhadap seseorang berarti ia sudah dianggap keluarga dekat dengan kawan, bicaranya atau teman akrabnya tiada batas.
Adalah tidak enak apabila berbicara hamu ( halus ) terhadap pariban tetapi harus memakai kata ho ( kasar ) baru terasa bagaimana hikmatnya namarpariban itu. Kadang – kadang sesama saudarapun memakai demikian, berarti tiada jarak antara sesama saudara. Malahan sebahagian Suku Batak ada yang memakai ho ( kasar ) terhadap ayahnya sedang daerah lain masih memakai hamu ( halu ).
Dapatlah dipahami dalam hubungan sopan santun pergaulan Suku Batak adalah sopan apabila dapat bicara bebas dengan bahasa bebas bagi keluarga yang dianggap dekat tiada jarak, dari pada bicara halus terhadap keluarga dekat.
Beberapa istilah kekerabatan yang dipergunakan untuk menyebutkan atau menyapa seseorang dan dianggap hormat dan sopan seperti berikut ini : Ompung dipergunakan oleh seseorang baik laki maupun perempuan terhadap yang sudah dianggap nenek baik laki – laki maupun perempuan.
Amang dipergukan oleh seseorang baik laki – laki maupun perempuan terhadap seseorang laki – laki yang dianggap sudah berkeluarga dan lebih tua dari seseorang itu atau sama bayanya.
Inang dipergunakan oleh seseorang baik laki – laki maupun perempuan terhadap seseorang ibu yang sebaya dengan orang itu atau lebih tua dari padanya.
Ito dipergunakan oleh seseorang baik laki – laki maupun perempuan terhadap lawan jenisnya.
Sapaan – sapaan ini, atau sebutan – sebutan ini adalah merupakan sapaan atau sebutan umum yang cukup hormat dan sopan kepada semua pikah sebelum perkenalan. Sesudah berkenalan. Sesudah berkenalan dan bertutur barulah dapat diatur panggilan atau sebutan yang lebih khusus dalam istilah kekerabatan.
Tak ada panggilan umum terhadap sesama laki – laki maupun terhadap sesama perempuan tidak menimbulkan reaksi sebelum berkenalan atau bertutur. Sebab itu timbullah istilah ba, daba, baya, kedan, kode, pedan yang artinya kawan atau dongan walau sebenarnya agak bebas tetapi perkataan itu enak rasanya kepada yang sudah akrab. Memang ada sapaan atau sebutan terhadap sesama laki – laki tetapi arahnya sudah lebih khusus misalnya : ampara bagi sesama saudara, lae, bagi lelaki sesama saudara marhula – hula marboru termasuk tunggane yang dirasa masih dalam ruang lingkup bahasa sopan santun didalam panggilan.
Ada sebagian, daerah asal berbicara atau menjawab seseorang selalu memakai kata amang boru. Memang bahasanya hormat, tetapi didalam rasa hormat itu tersembunyi sesuatu keakuan bahwa ia sudah menjadi hula – hula dengan lawannya bicara dengan demikian ia harus diperlakukan sebagai hula – hula. Sedang daerah lain asal memanggil / menyebut atau menjawab seseorang selalu dengan kata – kata tulang. Perkataan tulang itu sebenarnya hormat, berarti dengan sebutan tadi dia telah merendah diri terhadap lawan bicaranya tetapi bahayanya mungkin kawan bicaranya tadi adalah semarganya yang mungkin akan menimbulkan kejengkelan karena tidak tepat pertuturannya. Disamping itu agar ia diperlakukan sebagai boru sehingga dapat berlakon bebas dimanjakan.
Disamping itu ada sebutan – sebutan atau sapaan – sapaan yang timbul di Indonesia yang maksud si penyapa adalah hormat tetapi dalam artinya adlah kebalikannya dan tidak lucu. Sebutan – sebutan itu adalah seperti : inang artinya ibu dan boleh sebagai panggilan terhadap seseorang ibu. Inang – inang artinya bukan ibu – ibu tetapi adalah isteri atau lebih tepat bini. Ina artinya ibu juga, tetapi tidak boleh dipakai sebagai panggilan.
Ina – ina artinya adalah ibu yang sudah beranak tetapi boleh juga dipakai sebagai ibu – ibu tetapi sebutan ina – ina sebagai ibu – ibu sebenarnya sudah kasar, sebutan yang sopan untuk ibu – ibu adalah “ Angka ina ”.
Demikian pula halnya dengan amang, artinya adalah bapak atau boleh sebagai panggilan. Amang – amang artinya sudah menjadi suami.
Ama artinya bapak dengan perasaan cukup beribawa. Ama – ama adalah laki – laki yang sudah berkeluarga atau beristeri tetapi boleh pula artinya bapak – bapak seperti ina – ina tadi.Demikianlah sekelumit sikap sopan santun sistem kekerabatan Suku Batak. Dengan mengetahui istilah – istilah sistem kekerabatan suku Batak ini, maka setiap orang yang dalam dirinya telah tertanam kian budaya leluhur dengan sendirinya akan bersikap prilaku memakai istilah kekerabatan ini dalam tata cara sikap prilaku sapaan – sapaan, apabila mengadakan komunikasi dengan suku Batak.

0 komentar:

Posting Komentar

Gabung Dong....

My Pagerank

Powered by  MyPagerank.Net
Yahoo bot last visit powered by MyPagerank.Net
Counter Powered by  RedCounter

  ©Template by Dicas Blogger.

TOPO